Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman, baik suku, ras, budaya, maupun agama. Berdasarkan Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, agama yang diakui di Indonesia ada 6 yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Sebagai warga Indonesia sudah seyogyanya memiliki sikap menerima dan menghargai keberagaman tersebut. Sikap seperti ini popular dengan sebutan Toleransi.
Kata Intoleransi berasal dari dua kata yaitu "In" yang artinya "tidak, bukan" dan kata "Toleransi" yang memilik arti sifat atau sikap toleran. Toleransi bisa bermakna suatu sikap sebagai alat ukur penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Toleransi sendiri didefinisikan sebagai "bersifat atau bersikap menenggang pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan Intoleransi beragama ialah suatu kondisi dimana suatu kelompok secara spesifik menolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama.
Santri adalah sebuah label yang disandangkan pada sekelompok orang yang menetap pada sebuah pondok yang dikhususkan untuk belajar banyak pengetahua agama. Sebagai seorang santri sudah menjadi pembiasaan sehari-hari mengaplikasikan sikap toleransi, hal ini bertujuan untuk mengimbangi realita yang ada di lingkungan pesantren mulai dari latar belakang kultur atau budaya yang cukup heterogen.
Ambil contoh dalam satu bilik atau kamar dalam pesantren terdapat banyak berbedaan mulai dari watak dan kepribadian, hobi atau selera makan termasuk dalam pola berpakaian dan lain- lain. Semua ini tentunya memerlukan pengertian dan pemakluman. Para santri diharapkan mampu menerapkan sikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari agar kehidupan di pesantren berlangsung rukun dan harmonis. Harapannya ketika para santri sudah kembali ke kampung halaman kelak meraka tidak akan bimbang dengan realita masyarakat yang pruralistis karena sudah dibekali pembiasaan terpuji dari pesantren.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Pulau Jawa. Pesantren merupakan wadah untuk mendidik dan menuntut ilmu agama dalam rangka mendidik seseorang agar berkepribadian yang Islami sesuai syariat. Pesantren berasal dari bahasa Tamil yang bermakna guru mengaji atau berasal dari kata "Shastri" dari kata "Shastra" yang bermakna buku-buku suci, buku-buku agama atau ilmu tentang pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan konvensional yang sejak awal berdirinya hingga saat ini telah banyak mengalami perubahan dan telah berperan besar bagi Indonesia. Julukan sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbesar tidak lain juga didukung oleh kehadiran pesantren yang sejak lama menjadi pendidikan konvensional di Indonesia.
Menurut KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pola pendidikan pesantren tidak hanya seputar cara beribadah kepada Tuhan semata atau hablu minallah, namun juga mengkaji perihal hubungan manusia dengan manusia lainnya (hablu minannas) salah satunya perihal toleransi.
Sementara itu, pesantren bukan hanya sebagai pusat kehidupan rohani dan prinsip hidup yang berorientasi pada masalah akhirat atau ibadah kepada Tuhan semata. Namun pada dasarnya materi-materi agama yang terealisasikan oleh fikih, tauhid dan lainnya telah banyak menggambarkan tentang urusan sosial masyarakat dan persoalan-persoalan dunia yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, stigma keilmuan agama yang terkesan hanya berorientasi ukhrowi, pada dasarnya telah mempresentasikan urusan duniawi.
Toleransi dalam Perspektif Islam
Islam mengakui bahwa Allah menciptakan manusia sekaligus dengan pluralismenya, banyak manusia yang tidak menyadari ketika dihadapkan pada suatu perbedaan. Alhasil tidak sedikit manusia yang mengklaim dirinya lebih baik dari manusia lainnya. Dalam QS. Al-Maidah: 48 disebutkan bahwa
"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkanitu,"
Ayat tersebut telah menjelaskan bahwa Allah mempu untuk menciptakan umat tanpa perbedaan, namun dalam realitanya Allah menciptakan umat manusia dengan pluralismenya, hikmah dari keadaan ini adalah agar manusia bisa memberi ruang kepada manusia lainnya dalam hal perbedaan yang terjadi diantara keduanya. Dalam dalil lain disebutkan pula bahwa
"Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di bumi akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kerelaan mereka sendiri" (QS. Yunus: 99)
Artinya, manusia pasti dihadapkan dengan perbedaan, begitupula dalam hal keimanan. Ketika seseorang telah mengajak orang lain untuk beriman kepada Allah, maka hal itu sudah cukup untuk mengajak kebaikan, dengan tidak memaksa sampai orang lain benar-benar beriman kepada Allah. Karena dalam ayat tersebut Allah memperingatkan kepada kita untuk tidak memaksakan kehendak orang lain untuk mengikuti seruan kita.
Khususnya terkait keimanan, jika kita telah menyeru orang lain untuk berjalan pada jalur yang Allah berikan, maka tidak wajib bagi kita untuk memaksakan sampai mau beriman kepada Allah, karena urusan Iman hanya Allah yang dapat menggerakkan hati insan yang dipilihnya. Secara tidak langsung, Islam telah mendidik umatnya untuk mengedepankan sikap toleransi, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memilih kehendaknya.
Islam adalah agama yang memprioritaskan kedamaian, oleh karenanya setiap perbuatan yang dilakukan umat Islam sejatinya tidak akan menimbulkan perpecahan yang dapat merusak keimanan.
Toleransi ala Santri
Kurikulum yang terdapat di pesantren pada dasarnya sudah mencakup nilai-nilai toleransi, misalnya pada saka tasawuf dan fiqih. Namun diperlukan pemahaman dan penafsiran yang komprehensif dan integratif untuk dapat menggali dan kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Teori tentang toleransi sudah barang tentu menjadi materi penting dalam didikan pesantren.
Hal terpenting untuk dilakukan ialah praktik dari toleransi itu sendiri, pembudayaan toleransi pada dataran keseharian santri. Seperti tinggal dan hidup bersama dengan teman yang tentunya memiliki karakter ataupun latar belakng yang saling berbeda mulai dari tidur bersama, makan bersama dengan menu yang ada, melakukan kerja bakti setiap pekan dan beribadah secara berjamaah setiap hari.
Dengan adanya pembudayaan tersebut, sangat memungkinkan tumbuhnya jiwa toleran pada diri santri, sehingga nantinya akan berkembang pada dataran sikap dalam kehidupan nyata. Sementara itu, ajaran tasamuh dan tawazun yang menjadi tonggak pesantren, pada dasarnya menjadi salah satu pondasi utama dalam pengembangan toleransi di lingkungan pesantren. Sehingga, sikap intoleransi dapat dibendung dalam diri para santri.
Kehidupan yang damai merupakan dambaan semua orang. Toleransi mengandaikan adanya kehidupan yang damai dan tentram dalam selimut cinta kasih. Hal ini mengidentifikasikan bahwa toleransi adalah sifat dasar manusia yang sudah sepatutnya ditumbuhkembangkan dalam ragam bentuk situasi dan geografi.
Pesantren menjadi model pelestarian akal dan hati. Tradisi kitab kuning telah melahirkan nilai-nilai luhur yang dikembangkan di pesantren, seperti sikap dan perilaku santri yang tasamuh, tawasuth, dan tawazun. Melalui pendidikan dan olah bathin yang matang dapat menumbuhkan jiwa santri yang mengedepankan tasamuh, tawasuth, dan tawadzun sebagai tiga hal prinsip yang senantiasa menjadi pedoman.
Sementara itu budaya mengaplikasikan nilai-nilai agama yang berkaitan dengan hablu minannas juga menjadi faktor terjaganya dan berkembangnya sikap toleransi pada diri para santri. Oleh karenanya, pembiasaan ataupun kultur yang terdapat di dunia santri dapat diaplikasikan sebagai sikap pembendung intoleransi.
Sumber:
Muhamad Ridwan Effendi, "Mitigasi Intoleransi dan Radikalisme Beragama di Pondok Pesantren Melalui Pendekatan Pembelajaran Inklusif"Jurnal Pedagogie, Vol. 1. No. 1, 2020.
Ali Maksum, "Model Pendidikan Toleransi di Pesantren Modern dan Salaf" Jurnal PAI Vol. 03, No. 01, 2015.
Achmad Machrus Muttaqin, "Pesantren, Kyai dan Santri" Jurnal Tawadhu Vol. 3 No. 2, 2019.
https://islam.nu.or.id/post/read/16551/karakter-tawassuth-tawazun-i039tidal-dan-tasamuh-dalam-aswaja
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/26390/penetapan-presiden-nomor-1-tahun-1965/document
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H