Mohon tunggu...
Syarifah HuswatunMiswar
Syarifah HuswatunMiswar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Doktoral di bidang Hubungan Internasional

Tidak ada kata bosan, karena dunia memiliki banyak hal yang bisa dijadikan hobi baru. No Bee No Honey, No work No Money

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

1.5 Derajat: Resolusi Bumi Tahun 2023

29 Desember 2022   19:37 Diperbarui: 29 Desember 2022   19:50 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2022 akan segera berakhir dan akan berganti dengan tahun selanjutnya. Bergantian tahun banyak dibuka dengan mereview dan resolusi tahun selanjutnya. Tentunya di sepanjang tahun 2022 telah banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya, dan seorang individu memberikan evaluasi diri serta tujuan-tujuan dan target kehidupan kedepannya.

Begitupun bumi, juga telah terjadi banyak hal sepanjang tahun 2022, namun apakah bumi bisa membuat resolusinya sendiri tahun 2023? Mungkin ini adalah pertanyaan yang aneh karena bumi tentu saja bukan manusia seperti anda yang sedang membaca artikel ini. Akan tetapi bumi merupakan rumah bagi manusia dan makhluk lainnya yang memberikan tempat perlindungan serta mencukupi dan menyokong kehidupan. Lalu, apakah bumi itu penting atau tidak dalam resolusi tahun 2023?

Apa yang telah terjadi di lingkungan sepanjang tahun 2022?

Tahun 2022 November lalu, para negosiator muncul dari Konferensi tingkat tinggi iklim COP27  dengan kesepakatan untuk membentuk aliran pendanaan baru yang disebut "loss and damage" yang merupakan penghitungan kerusakan iklim ketika semua hal lain telah gagal. Komunitas di garis dean darurat iklim .

Sepanjang tahun 2022, setidaknya ada 13 isu besar terhadap lingkungan, diantaranya yaitu sebagai berikut

Pertama, pemanasan dari bahan bakar fossil.

Tingkat karbondioksida terakhir kali planet kita adalah lebih dari 4 juta tahun lalu. Peningkatan emisi gas rumah kaca telah menyebabkan peningkatan suhu global yang cepat dan stabil, yang kemudian menyebabkan peristiwa bencana alam di seluruh dunia. Gelombang panas di Antartika membuat suhu naik diatas 20 derajat untuk pertama kalinya. 

Para ilmuan telah memperingatkan bahwa planet bumi telah melewati serangkaian titik kritis yang dapat menimbulkan konsekwensi bencana seperti mencairnya es di kutub, mempercepat kepunahan massal. Krisis Iklim menyebabkan bencana alam lebih sering terjadi. Meskipun semua emisi gas rumah kaca segera dihentikan, suhu global akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang jika kita tidak berinvestasi pada sumber energi terbarukan.

Kedua

Pemerintahan yang buruk. Menurut ekonom Nicholas Stern, krisis iklim adalah akibat dari berbagai kegagalan pasar. Untuk mengurangi emisi tidak hanya diperlukan dana, akan tetapi juga memerlukan kebijakan lain yang dapat mengatasi setiap kegagalan pasar. Struktur pajak (karbon) saat ini tidak selaras dengan profil polusi sumber energi. Selanjutnya organisasi seperti PBB dinilai tidak cocok untuk perubahan iklim,karena ia dibentuk untuk mencegah perang dunia lain, anggota PBB tidak diberi mandat untuk mematuhi setiap saran dan rekomendasi yang dibuat organisasi, misalnya perjanjian Paris yang tidak berjalan dengan baik.

Ketiga, sampah makanan. Sebanyak 1.3 miliar ton konsumsi makanan manusia di dunia telah terbuang. Ini cukup memberi makan 3 miliar orang. Pemborosan dan kerugian ini menyumbang sepertiga dari emisi gas rumah kaca setiap tahunnya. Di negara maju 40% limbah makanan terjadi di tingkat pengecer dan konsumen. Sementara itu di negara berkembang 40% limbah makanan terjadi ditingkat pasca panen dan pengolahan.

Keempat, kehilangan keanekaragaman hayati. Selama 50 tahun terakhir telah terjadi pertumbuhan pesat konsumsi manusia, populasi, perdagangan global, dan urbanisasi, yang mengakibatkan umat manusia menggunakan lebih banyak sumber daya Bumi. Laporan WWF baru-baru ini menemukan bahwa ukuran populasi mamalia, ikan, burung, reptil dan amfibi telah mengalami penurunan rata-rata 68% antara tahun 1970 dan 2016. 

Laporan tersebut mengaitkan hilangnya keanekaragaman hayati dengan berbagai faktor, khususnya faktor lahan. Berubahnya hutan, padang rumput dan hutan bakau menjadi sistem pertanian. Hewan-hewan tertentu juga sangat terpengaruh oleh perdagangan satwa yang kemudian terancam kepunahannya. Lebih dari 500 spesies hewan darat berada diambang kepunahan dan kemungkinan besar akan hilang dalam waktu 20 tahun.

Kelima, polusi plastik. Sebuah laporan oleh jurnal sains, Nature, menetapkan bahwa saat ini, sekitar 14 juta ton plastik masuk ke lautan setiap tahunnya, merusak habitat satwa liar dan hewan yang hidup didalamnya.Krisis plastik akan meningkat menjadi 29 juta metrik ton per tahun pada tahun 2040 jika tidak ada tindakan yang diambil. Yang lebih mengejutkan adalah National Geographic  telah menemukan bahwa 91 % dari semua plastik yang pernah dibuat tidak di daur ulang. Bisa kita bayangkan bagaimana manusia hidup dengan sampah plastik yang membutuhkan waktu 400 tahun untuk terurai.

Keenam, Deforestasi. Setiap jam, hutan seluas 300 lapangan sepak bola ditebang. Diperkirakan pada tahun 2030, planet bumi mungkin hanya memiliki 10% hutan jika deforestasi tidak dihentikan. Semuanya dapat hilang dalam waktu kurang dari 100 tahun. Adapun penyebab utama deforestasi yaitu pertanian. Lahan yang dibuka untuk beternak atau menanam tanaman tertentu seperti sawit dan tebu. Hutan tidak hanya berfungsi menyerap karbon, tapi juga membantu mencegah erosi tanah dan sebagai sumber energi terbarukan.

Ketujuh, Polusi Udara. Penelitian dari WHO telah menunjukkan bahwa diperkirakan 4.2 hingga 7 juta orang meninggal akibat polusi udara di seluruh dunia setiap tahun  dan 9 dari 10 orang menghirup udara yamg mengandung polutan tingkat tinggi.

Kedelapan, lapisan es mencair dan kenaikan permukaan laut. Saat ini permukaan laut naik dua kali lebih cepat daripada yang terjadi di sebagian besar abad ke 20 sebagai akibat dari peningkatan suhu di bumi. Permukaan air laut meningkat rata-rata 3.2 mm per tahun secara global dan akan terus bertambah hingga sekitar 0.7 meter pada akhir abad ini.

Kesembilan pengasaman laut. Lautan di bumi menyerap sekitar 30 % karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer bumi. Hal ini terjadi karena konsentrasi emisi karbon yang lebih tinggi dilepaskan berkat aktifitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, serta efek perubahan iklim global seperti peningkatan lahu kebakaran hutan. Perubahan pH dapat berdampak signifikan pada tingkat keasaman laut yang kemudian dapat berdampak buruk pada keberadaan ekosistem laut. Hal yang paling ditakutkan dari pengasaman laut adalah pemutihan terumbu karang yang kemudian menyebabkan terumbu karang hilang.

Kesepuluh, pertanian. Produksi tanaman melepaskan gas rumah kaca seperti dinitrogen oksida melalui penggunaan pupuk. Studi telah menunjukkan bahwa sistem pangan global bertanggung jawab atas sepertiga dari semua emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia, dimana 30% berasal dari peternakan dan perikanan.

Kesebelas, kerawanan pangan dan air yang mengakibatkan sekitar 1.1 miliar orang di seluruh dunia kekurangan akses pada air, dan total 2,7 miliar orang telah mengalami kelangkaan air setidaknya satu bulan dalam setahun.

Kedua belas, Fast fashion dan limbah tekstil. Limbah tekstil masih jarang disoroti namun gaya fast fashion yang berkembang juga berpengaruh pada polusi di planet bumi

Terakhir, penangkapan ikan berlebihan. Kebutuhan protein yang semakin banyak mengakibatkan pada penangkapan ikan yang berlebihan. Keadaan ini dapat merugikan lingkungan, salah satunya kehilangan tingkat keragaman hayati.

Resolusi tahun 2023: 7 hal yang harus dilakukan agar suhu bumi turun tahun 2050

Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi kenaikan suhu bumi jangka panjang, diantaranya adalah:

Mengurangi pembangkit listrik tenaga batubara  (PLTB) harus 6 kali lebih cepat. Setidaknya sebelum tahun 2050 dunia sudah mengurangi PLTB hampir 1000 unit. Selanjutnya menambahkan bus listrik di kota-kota besar dunia, mengurangi produksi karbon 10 kali lebih rendah pada pabrik semen yang menghasilkan emisi CO2 500 juta ton per tahun. 

Lalu menahan 2,5 kali laju deforestasi dari biasanya, mengurangi makan burger, beralih ke bangunan hijau yang hemat energi dan ramah lingkungan, dan terakhir adalah mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak yang berasal dari fosil harus lima kali lebih cepat. Perlu diingat bahwa seberapa bagus pun resolusi yang dibuat, tidak akan berarti dengan aksi nyata dan konsistensi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun