"Sesederhana itu". Itu komentar saya pertama ketika mendengar cerita Kirun tentang Gus Dur ketika menjawab pertanyaan tentang apa yang bisa dilanjutkan generasi sekarang dari warisan Gus Dur? Kirun menjawab singkat. Katresnan.
Kemudian Kirun menlanjutkan bahwa Gus Dur jika bicara tentang Tuhan, selalu yang diambil adalah adalah Tuhan Maha Kasih dan Sayang. Cinta dan kasih sayang. Saya terhentak. Dan keluar gumaman pelan, "sesederhana itu".
Mengapa saya mengatakan sesederhana itu? Karena saban hari kita memang disuguhi begitu banyak ujud kasih sayang, cinta kasih. Mulai dari ujud paling dangkal cinta kasih antar jenis manusia demi kelanjutan generasi, hingga ujud cinta semesta yang begitu abstrak, tapi nyata.
Udara yang tak terhingga, bebas kita hirup sepuasnya. Inilah kasih sayang alam. Kita temui pohon mangga begitu ranum buahnya, itulah persembahan cinta kasih pepohonan. Seekor induk domba menyusui anaknya, dan seterusnya. Itu semua digerakkan siapa?
Setiap detik ada saja kebaikan yang dilakukan manusia, saling tolong, bantu dan bekerja sama. Semua ada ejawantah dari katresnan. Betapa Tuhan telah mendesain begitu rupa sifat kasih sayang Nya pada semua mahluq.
Namun kadang, kita sebagai mahluk yang katanya paling mulia dan sempurna lebih sering lupa. Kita lebih sering membincangkan Tuhan dalam salah satu sisi saja sifatNya yang keras, tegas, adil. Cara berpikir kita dibatasi benar salah semata. Hitam putih, tidak ada abu-abu.
Abu-abu adalah kemunafikan. Kemunafikan adalah ujud kepengecutan. Hidup harus tegas, keras dan berani. Betapa kita sering merasa kelelahan karenanya. Padahal, ada cara lain memandang hidup agar lebih indah dan dapat dinikmati. Memandang hidup dari sudut cinta dan kasih sayang.
Katresnan. Sebuah diksi jawa yang jiwa maknanya mungkin hanya bisa dirasakan oleh orang Jawa sendiri. Katresnan itu memberi sebanyak semampunya, dan mau menerima apa adanya, tanpa syarat, tanpa ketentuan tertentu yang rumit. Seperti seorang ibu yang melimpahkan semuanya untuk anak, seberapa nakal dan buruk perilakunya, katresnan seorang ibu mampu menampung segalanya.
Ada baik, ada buruk. Bukan berarti dengan alasan cinta dan kasing sayang kita pelihara keduanya. Tuhan memiliki rumus dasar, yang baik itu jelas, yang buruk itu jelas. Yang baik ayo dilakukan, yang buruk silahkan ditinggalkan saja. Ini sikap perilaku diri. Jika ada pilihan kebaikan dan keburukan dan kebaikan, kita pilih yang baik. Karena sudah jelas.
Dalam ajaran sosial, Rasul mengajarkan, pada pelaku dzalim maupun korban kedzaliman tolonglah keduanya. Tolonglah keduanya. Beliau, Rasululullah menggunakan diksi yang khusus. Tolonglah.
Ini adalah perwujudan sikap kasih sayang. Bahwa pelaku keburukan itu maupun korban keburukan semua adalah umat manusia, ummat Nabi di akhir zaman. Maka tolonglah keduanya.
Betapa Rasul tidak hendak membuat polarisasi. Tidak membuat kelas. Tidak menghakimi final. Justru Rasul menganjurkan agar semua bisa ditolong. Sehingga semua sama-sama selamat. Inilah panutan kita.
Bagi sebagian orang, mungkin sikap cinta dan kasih sayang itu dipandang lemah. Tidak heroik. Tidak sesuai dengan jiwa kepahlawanan. Bahkan mungkin dituduh pengecut. Tidak ada kemerdekaan yang lahir dari cinta. Semua butuh darah. Rasul juga berperang melawan musuh untuk bertahan dan berjaya.
Jangan mudah terlena dengan bujukan yang melemahkan. Tentu kalimat ini ada benarnya. Karena dia sedang bicara fakta bahwa sejarah Islam dipenuhi dengan desingan pedang dan teriakan jihad perang. Namun, kadang kita lupa, bahwa fakta itu harus diletakkan pada kerangka menolong pelaku kedzaliman. Tidak ada kebencian kepada mahluq Tuhan. Semua harus diletakkan dalam kerangka cinta dan kasih sayang.
Tentu tidak ada paksaan. Ini soal sudut pandang. Kita sendiri yang sepenuhnya memilihnya. Ini yang disebut pandangan hidup.
Syarif_Enha@22 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H