Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seperti Kertas Ujian

18 September 2020   08:26 Diperbarui: 18 September 2020   08:30 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa orang tua yang tidak sedih begitu tahu bahwa anaknya lahir dalam kondisi keterbelakangan mental. Tidak jarang dari mereka yang kemudian menitipkan anaknya (untuk tidak mengatakan "membuang"nya) ke panti-panti yang didirikan oleh banyak yayasan sosial. 

Anak yang memiliki keterbelakangan mental dianggap beban bahkan sering disebut sebagai aib keluarga. Hal ini tidak terlepas dari persepsi masyarakat menilai bahwa anak yang demikian hanya akan membawa sial, dan lebih parah lagi bahwa jika salah satu anggota keluarga ada yang terindikasi keterbelakangan mental.

Maka anak turunnya kemudian sangat mungkin untuk mengalami hal yang sama. Sehingga lengkaplah derita keluarga itu. Dengan prihatin orang-orang akan menyebut mereka sebagai keluarga yang malang.

Anak yang demikian (berketerbalakangan mental) dinilai sebagai manusia yang tidak sempurna. Tidak utuh sebagai manusia, sehingga seringkali mereka hanya menjadi bahan olokan anak-anak.

Apakah gerangan rahasia Tuhan melahirkan anak-anak yang demikian? Bukankah Tuhan sendiri menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan fungsi kekhalifahan sehingga dia harus mampu mengelola dunianya agar selamat sampai pada titik akhir? Jika untuk bercakap dan menangkap maksud lawan bicara saja tidak mampu, apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang berketerbelakangan mental?

Jika kita melihatnya dari sudut sempit itu, sungguh tidak adil hidup ini, karena dia tidak bisa menyatakan "tidak" dalam kondisi yang diterimanya itu. Namun cobalah kita lihat dalam perspektif yang lebih luas. 

Bahwa Tuhan dalam kalimat-Nya yang menyatakan bahwa Ia menciptakan "manusia" dalam kondisi terbaik, ada makna kesatuan di sana. Manusia di sana bukan saja berarti tiap-tiap orang, namun mungkin juga manusia dalam keseluruhannya. 

Sehingga manusia dalam kalimat itu bisa kita pahami satu kesatuan sistem, bahwa sejak mula ada manusia sampai akhirnya lahir manusia terakhir, merupakan satu kesatuan kesempurnaan dengan adanya beragam bentuk dan kondisi yang tidak sama.

Ada manusia yang pandai dalam ilmu pengetahuan, ada yang sukses dalam usaha perdagangan, ada yang berhasil dalam karir militernya, ada juga yang selalu gagal dalam tiap usahanya, ada yang miskin sepanjang hidupnya, bahkan ada yang gila sejak mula dilahirkan. Kesemuanya itu adalah kesempurnaan dari manusia yang diciptakan untuk satu tujuan yaitu mengukur siapakah yang paling baik dan mulia amal perbuatannya. 

Dan Tuhan sudah berjanji akan memberikan balasan sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawab yang diembannya. Seorang petani tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan perekonomian negara, begitu pula seorang ayah dan ibu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas lahirnya seorang anak berketerbelakangan mental. Namun mereka dimintai jawab atas apa yang telah mereka perbuat untuk menjaga anak mereka itu.

Dari sini saya harapkan permasalahan menjadi jernih. Tidak usah bertanya mengapa kita dihadapkan dalam suatu masalah, namun segera berpikirlah bagaimana menghadapi masalah tersebut. Karena kita tidak dimintai pertanggungjawaban atas mengapa masalah itu datang, namun bagaimana cara kita menghadapi masalah tersebut.

Ada pasangan suami istri dengan empat anaknya harus juga merawat orang tuanya yang sudah renta dan tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa tetangga dan saudara banyak yang menganjurkan untuk mencari orang pintar. Mereka mengira orang tuanya itu banyak memiliki "simpanan" pda masa mudanya sehingga sulit menemui ajal. 

Dengan kata lain, mereka menganjurkan supaya pasangan suami istri itu berusaha segera mematikan orang tuanya yang sudah begitu tua, namun tak juga ajal menjemputnya. Merepotkan saja katanya.

Namun untunglah, sampai akhirnya belum lama ini orang tuanya meninggal, mereka tidak sampai menghadirkan seorang pintarpun untuk mempermudah kematiannya. 

Mereka selalu yakin bahwa Tuhan sajalah yang memiliki otoritas untuk mengambil kembali ruh yang telah Ia tiupkan ke dalam raga manusia. Tugas mereka hanya sebatas menjaga orang tua yang telah lemah itu. Tuhan pasti memiliki rencana-Nya sendiri atas kondisi mereka itu.

Seorang anak berketerbelakangan mental, maupun orang tua yang sudah lemah kondisinya sehingga membutuhkan perhatian lebih, seperti selembar kertas ujian yang harus digarap dan di selesaikan oleh orang yang memang Tuhan tunjuk untuk itu. 

Mereka harus dengan tekun dan hati-hati serta teliti untuk mengerjakannya agar tidak mendapatkan nilai merah dalam buku rapot nantinya. Tidak jarang ada godaan untuk mencari jalan pintas mencontek atau bahkan membayar seorang joki untuk menggantikan tugas mereka itu. 

Namun ini bukan ujian sekolah yang hanya diawasi oleh satu dua orang pengawas dengan keterbatasan pandangan mereka. Namun pengawas untuk ujian hidup ini adalah Tuhan sendiri dengan para malaikat-Nya, yang mengadakan evaluasi bukan saja detail dalam bentuk tindakan apa yang telah dilakukan, namun juga getaran hati ditiap-tiap jengkal waktu yang berlalu, sebagai ukuran keikhlasan yang begitu lembut.

Jadi, mulailah belajar untuk mengerti. Apapun yang terbentang di hadapan kita, adalah sebuah lembar tugas yang harus kita selesaikan dengan teliti dan hati-hati. Tuhan memiliki takaran-Nya sendiri. 

Masing-masing kita ditempatkan pada posisi yang tidak sama. Jika di hadapan kita ada sawah, maka olah dengan baik agar menghasilkan namun tetap subur dan lestari. 

Jika dihadapan kita ada kewenangan, gunakan dengan tepat untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Jika kita dihadapkan pada kecurangan, segera hentikan dan upayakan perbaikan. 

Jika di hadapan kita ada ketidakberdayaan, maka kuatkan dan bimbinglah agar berdaya. Jika di hadapan kita ada kebodohan, maka ajarkanlah tentang pengetahuan akan kebenaran dan kebaikan. 

Namun jika dihadapkan kepada kita satu keingkaran dan angkara murka, jangan segan-segan mengasah pedang, dan angkat tinggi-tinggi untuk menumpasnya.... Syarif_Enha@Semarang, 20 April 2010.

*Pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun