Siapa orang tua yang tidak sedih begitu tahu bahwa anaknya lahir dalam kondisi keterbelakangan mental. Tidak jarang dari mereka yang kemudian menitipkan anaknya (untuk tidak mengatakan "membuang"nya) ke panti-panti yang didirikan oleh banyak yayasan sosial.Â
Anak yang memiliki keterbelakangan mental dianggap beban bahkan sering disebut sebagai aib keluarga. Hal ini tidak terlepas dari persepsi masyarakat menilai bahwa anak yang demikian hanya akan membawa sial, dan lebih parah lagi bahwa jika salah satu anggota keluarga ada yang terindikasi keterbelakangan mental.
Maka anak turunnya kemudian sangat mungkin untuk mengalami hal yang sama. Sehingga lengkaplah derita keluarga itu. Dengan prihatin orang-orang akan menyebut mereka sebagai keluarga yang malang.
Anak yang demikian (berketerbalakangan mental) dinilai sebagai manusia yang tidak sempurna. Tidak utuh sebagai manusia, sehingga seringkali mereka hanya menjadi bahan olokan anak-anak.
Apakah gerangan rahasia Tuhan melahirkan anak-anak yang demikian? Bukankah Tuhan sendiri menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan fungsi kekhalifahan sehingga dia harus mampu mengelola dunianya agar selamat sampai pada titik akhir? Jika untuk bercakap dan menangkap maksud lawan bicara saja tidak mampu, apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang berketerbelakangan mental?
Jika kita melihatnya dari sudut sempit itu, sungguh tidak adil hidup ini, karena dia tidak bisa menyatakan "tidak" dalam kondisi yang diterimanya itu. Namun cobalah kita lihat dalam perspektif yang lebih luas.Â
Bahwa Tuhan dalam kalimat-Nya yang menyatakan bahwa Ia menciptakan "manusia" dalam kondisi terbaik, ada makna kesatuan di sana. Manusia di sana bukan saja berarti tiap-tiap orang, namun mungkin juga manusia dalam keseluruhannya.Â
Sehingga manusia dalam kalimat itu bisa kita pahami satu kesatuan sistem, bahwa sejak mula ada manusia sampai akhirnya lahir manusia terakhir, merupakan satu kesatuan kesempurnaan dengan adanya beragam bentuk dan kondisi yang tidak sama.
Ada manusia yang pandai dalam ilmu pengetahuan, ada yang sukses dalam usaha perdagangan, ada yang berhasil dalam karir militernya, ada juga yang selalu gagal dalam tiap usahanya, ada yang miskin sepanjang hidupnya, bahkan ada yang gila sejak mula dilahirkan. Kesemuanya itu adalah kesempurnaan dari manusia yang diciptakan untuk satu tujuan yaitu mengukur siapakah yang paling baik dan mulia amal perbuatannya.Â
Dan Tuhan sudah berjanji akan memberikan balasan sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawab yang diembannya. Seorang petani tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan perekonomian negara, begitu pula seorang ayah dan ibu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas lahirnya seorang anak berketerbelakangan mental. Namun mereka dimintai jawab atas apa yang telah mereka perbuat untuk menjaga anak mereka itu.
Dari sini saya harapkan permasalahan menjadi jernih. Tidak usah bertanya mengapa kita dihadapkan dalam suatu masalah, namun segera berpikirlah bagaimana menghadapi masalah tersebut. Karena kita tidak dimintai pertanggungjawaban atas mengapa masalah itu datang, namun bagaimana cara kita menghadapi masalah tersebut.