Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara Hukum Berkemanusiaan; Mengapa Tidak Mudah?

30 Agustus 2020   05:53 Diperbarui: 30 Agustus 2020   05:56 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada disukusi ahli pada malam (29 Januari 2019) di forum ILC, ada pernyataan dari dua tokoh besar yang saya merasa terusik sehingga ingin menulis. Tito Karnavian selaku Kapolri dan Prof. Mahfud MD.

Mereka dengan tegas menyatakan, bahkan Tito sampai dua kali menegaskan, bahwa prinsip kembangsaan harus diutamakan dibanding dengan kemanusiaan, sementara Prof Mahfud menyatakan bahwa negara adalah berdasarkan hukum, bukan kemanusiaan. Maka kebijakan negara mesti tertib dan taat hukum, jangan sampai kemanusiaan menjadikan kita menabrak hukum.

Tentu tidak mudah melakukan kompromi pada tingkat paling mendasar, misalnya antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sama halnya jika harus memilih, taat asas hukum atau pertimbangan kemanusiaan. Bagi pengambil kebijakan langsung ini bukan pertimbangan mudah. Namun bagi pengamat dan komentator, semua itu retorika.

Mengapa saya terusik untuk menulis ini. Karena yang menyatakan itu adalah dua tokoh yang berbeda, Tito adalah pengambil kebijakan, dan Prof Mahfud lebih pada dewan pertimbangan. Keduanya memiliki pandangan sama. Hanya saja, kesamaan itu tampak diakibatkan karena kedudukan mereka sama-sama berada di belakang kepentingan pemerintah.

Yang lebih menarik adalah, bahwa pernyataan yang seragam tersebut, seolah menjadi legitimasi bagi negara untuk melakukan tindakan represif anti kamanusiaan, selama yang dipertahankan adalah kepentingan ketertiban kehidupan bernegara.

Saya tidak sanggup membayangkan, bagaimana dinamika benturan logika tersebut di dalam pikiran mereka, tentang semangat negara hukum yang berasaskan Pancasila.

Salah satu tulisan Kuntowijoyo yang saya ingat betul adalah terkait kontekstualisasi. Sudah terlalu banyak nilai luhur yang diserap sebagai sebuah kajian filosofis, namun seringkali gagal mewujudkannya dalam bentuk nyata.

Ketika bicara soal nilai, filsafat, kita memiliki satu pandangan yang sama. Pancasila sebagai basis nilai berengara. Namun begitu nilai itu diwujudkan, seringkali kita melihat bahwa nilai-nilai itu bersifat kosong. Murni menjadi retorika. Adalah masalah serius, ketika kita tidak memiliki kemampuan cukup dalam melakukan kontekstualisasi nilai-nilai.

Salah satu tulisan popular Kuntowijoyo adalah Islam sebagai Ilmu. Sebuah permenungan yang sangat operasional, bahwa jargon Islam itu utama, dan tidak ada yang lebih utama dari Islam, harus dibuktikan.

Pembuktiannya bukan kepada umat Islam saja, karena mereka sudah yakin. Justru yang harus melihat bukti lebih nyata mestinya adalah orang yang tidak atau belum memiliki keyakinan kepada Islam.

Caranya adalah dengan menampilkan Islam bukan sebagai identitas. Melainkan sebagai nilai yang bisa dikontekstualisasikan dalam berbagai macam bentuk ujud nyata. Jadikan Islam sebagai ilmu. Karena ilmu bebas dari pretensi teologis maupun idiologi.

Jika telah menjadi ilmu, maka tidak ada yang akan menolak dan pada ujungnya, aka nada pengakuan bahwa ternyata Islam sangat rasional. Dengan demikian, bahkan seorang atheis terpaksa harus mengakui kebenaran rasionalitas Islam. Karena ia telah menjadi ilmu, bukan baju teologi maupun idiologi.

Jadi, saya melihat perdebatan negara hukum vs kemanusiaan adalah sebuah kegagalan kita dalam meramu sintesa. Bagaimana mungkin kita melepaskan fitrah kemanusiaan demi peran institusi bernama negara.

Sedangkan negara sangat bergantung bagaimana kita membangun dan menyusun konsep aturannya. Bukankah berarti kita dijajah oleh dan dengan pikiran sendiri. Atau lebih tepatnya, nafsu kita sendiri?

Nafsu itu adalah api. Api itu membakar. Dan nafsu adalah lambang kebodohan. Siapa yang hidup dikuasai dan dikendalikan nafsu, maka itu pertanda akal pikir sehatnya sakit dan lemah.

Siapa yang membiarkan hidupnya dikendalikan nafsu, perilakunya merusak, membakar apa saja, bahkan tidak menutup kemungkinan membakar diri sendiri. (Syarif_Enha@Nitikan, 30 Januari 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun