Pengalaman spiritual yang terjadi pada seseorang sifatnya sangat personal. Seorang dengan yang lainnya, memiliki pengalaman spiritual yang berbeda dan khusus. Bahkan belum lama ketika masing-masing orang pada bulan Ramadhan kemarin berebut mendapatkan Lailatul Qadr. Dengan semangat komunal maupun personal, kita berharap bertemu dengan malam yang lebih mulia dari seribu bulan tersebut, dan meski mengalami peristiwa yang sama, namun kesan yang timbul sangatlah personal. Dan menurut Nurcholis Madjid, lailatul Qodr dalam makna dinamiknya adalah saat penemuan diri. Sehingga bisa saja terjadi kepada siapa saja dan kapan saja.
Banyak kisah seorang penjahat yang pada waktu tertentu mengalami titik balik sehingga berubah haluan menjadi menjadi seorang yang baik. Momentum penemuan diri itu adalah peristiwa spiritual yang luar biasa, dimana manusia tersebut dengan jelas mampu memetakan dirinya dan mampu menentukan arah yang disuarakan nuraninya. Peristiwa penemuan diri tersebut dapat berupa peristiwa yang mengguncang, seperti perginya orang yang sangat diandalkan, atau ketika dia berhadapan dengan hal-hal yang metafisik dan sakral. Namun tidak jarang, pencerahan itu juga terjadi lewat sebuah tragedi atau juga pengetahuan intelektual.
Selain pengaruh momentum, suatu tempat tertentu kadang memiliki nilai tersendiri dibalik kesadaran diri seseorang. Makkah adalah tempat yang banyak menyajikan peristiwa spiritual. Konon seorang akan melihat cerminan dirinya ketika berada di Makkah ketika berhaji. Baik buruknya akhlak yang dimilikinya akan tergambar dari peristiwa-peristiwa ajaib apa yang menimpanya.
Namun ternyata bukan hanya di Makkah dalam ritual hajinya yang memberikan peristiwa pencerahan. Seorang kawan pecinta alam, menceritakan pengalaman spiritualnya kepada PESANTREND ketika mendaki gunung Merbabu untuk ketiga kalinya beberapa waktu lalu. Namanya Moeshac Dirgantara, namun lebih akrab dipanggil Gatra.
Pada awalanya ketika diajak berangkat ke Puncak Merbabu dia menolak dengan sedikit pongah. "Wah aku sudah tiga kali naik Merbabu, masak mau naik Merbabu lagi? Tidak ada tantangannya." Namun akhirnya karena dibujuk kawan-kawannya dia mau berangkat. Mereka berangkat berempat. Hanya dua orang yang sudah pernah naik ke Merbabu, Gatra dan kawannya, Azar.
Ketika di Basecamp sebelum naik, Gatra dengan membanggakan diri menceritakan apa saja yang nanti bakal dilihat oleh kawan-kawannya. Hingga tanpa disadarinya, kawan-kawannya merasa diremehkan. Maka tibalah saat pemberangkatan. Rombongan itu berangkat berbaris dengan Azar paling depan diikuti kawan yang lain dan Gatra berada di bagian paling belakang.
"Dalam hati saya sombong, biarin mereka bersemangat ketika berangkat, belum tahu rasanya nanti jika kecapean. Aku dibelakang saja, nanti juga pasti bisa menyusul mereka." Akunya. Namun kenyataannya berkata lain. Yang terjadi malah sebaliknya. Kawan-kawannya sudah jauh meninggalkannya di depan, namun langkah kakinya seperti tidak mengalami kemajuan. Bahkan tiba-tiba kakinya terasa sangat berat dan tidak bisa dikendalikan. Lemas dan mati rasa.
Gatra ambruk dan terduduk sendiri. Sementara kawan-kawannya menunggu di bagian atas. Beberapa penduduk setempat yang hendak mencari rumput satu satu naik melewatinya. Menyapa dan Gatra hanya bisa nyengir. Dipijit-pijitlah kedua kakinya. Kemudian dipaksanya berjalan kembali. Namun belum sampai lima puluh langkah, dia ambruk lagi.
Saat itulah Gatra merasa perjalanan ini akan sulit. Ada dilema yang dia hadapi. Terus naik dengan konsekuensi kepayahan, atau kembali. Jika kembali ke basecamp tentu dia sangat malu, dan kawan-kawan yang mengajaknya pasti akan kecewa. "Pada titik itulah aku teringat Tuhan." Bayang-bayang kesombongannya berkelebatan. Sebagai seorang pecinta alam, sebenarnya dia tahu persis, untuk naik gunung seorang tidak boleh jumawa atau sombong. Karena perjalanan itu memerlukan tekad yang murni, dan keyakinan yang penuh.
Dengan tertunduk diperhatikannya kedua kakinya yang lemas tak bertenaga. Dalam hatinya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dengan perlahan dia memijit kakinya. Setelah beberapa lama dia istirahat, dia bangkit melanjutkan perjalanan. Dan begitu melangkahkan kakinya, secara spontan mulutnya berucap, "Ya Allah terimakasih." Dengan tersenyum Gatra kemudian menyusul kawan-kawannya. Kedua kakinya kini telah bertenaga kembali.
Kesalahan yang Berulang
Ketika sampai di puncak pertama, mereka mendirikan tenda. Mereka bermalam di sana, sebelum paginya nanti akan naik ke puncak menyambut sunrise. Dan di camp tenda inilah, ternyata kesombongannya muncul kembali. Ketika kawan-kawannya beranjak istirahat, Gatra justru bermain api unggun sampai menjelang pagi. Bahkan kepada kawan-kawannya dia sempat menyindir, "Masak naik gunung repot-repot hanya untuk tidur."
Dan peristiwa puncaknya adalah keesokan harinya. Ketika kawan-kawan Gatra bangun, mereka segera berkemas dan berangkat ke puncak. Kembali, peristiwa aneh di awal perjalanan kemarin, terasa kembali. Mungkin karena kurang istirahat, kaki terasa lemas, perut sakit, dan kepala nyut-nyutan pening bukan kepalang. "Saat itu aku merasa seperti tengah dihajar oleh Tuhan."
Gatra meminta kawan-kawannya duluan menuju puncak ketika tinggal beberapa puluh meter lagi sampai. Dia merebahkan badannya yang berkeringat dingin, perutnya mengejang, dan kakinya kaku. "Aku mencoba untuk tidur sejenak. Dan dalam hatiku bilang, ya Allah sampaikan aku ke puncak Merbabu." Sambil terus berucap ampun, Gatra akhirnya dapat tertidur sejenak.
Tidak lebih dari sepuluh menit, Gatra bangun dan beranjak menuju puncak. Ternyata kawan-kawannya yang lain, masih dengan sabar menunggunya tidak terlalu jauh dari tempatnya tertidur. Akhirnya mereka sampai ke puncak, namun matahari sudah lumayan tinggi. Mereka terpaksa melewatkan sunrise di puncak.
Gatra hanya terduduk di balik gundukan tanah menghadap selatan. Gunung Merapi dengan asapnya yang hitam menyadarkannya untuk berubah. Sambil diisapnya rokok kretek yang dibawanya, Gatra menghitung ulang perjalanan seluruhnya sebelum sampai puncak saat itu. Dan inilah butir-butir hikmah yang dia ambil dari pengadilan yang Allah putuskan baginya di Puncak Merbabu.
"Jika kau ingin menguji imanmu, salah satunya adalah dengan naik gunung. Saat gelap, di tengah hutan, tidak ada yang bisa kau andalkan selain keyakinan. Keyakinan akan keamanan dari hewan buas, makhluk halus, sampai keyakinan akan keamanan dari kejahatan kawan-kawan seperjalaanmu. Namun jangan lupa, juga dari kejahatan dirimu sendiri. Karena Tuhan tidak pernah tidur. Sehingga seorang yang tidak berubah sepulang dari naik gunung. Maka dia hanya memperoleh kelelahan fisik dan kenikmatan mata semata."
Di akhir ceritanya, PESANTREND bertanya, apakah saudara Gatra akan naik gunung Merbabu lagi, dia hanya menjawab diplomatis, "Naik gunung akan selalu menarik dan baru, meski kita lakukan berulang-ulang, bahkan untuk gunung yang sama sekalipun." Ungkapnya dengan tersenyum. (Syarif)
*Artikel ini pernah dipublikasikan di Majalah PesanTrend Edisi 5 tahun I, Oktober 2009, dengan Judul "Pengadilan Di Puncak Merbabu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H