Banyak orang bilang, menjadi seorang pelayar hidupnya enak. Gajinya besar dan bisa jalan-jalan ke banyak negara. Barangkali benar, tetapi pernahkah terbayangkan, bagaimana rasanya hidup tidak menginjak daratan berhari-hari bahkan berbulan-bulan, apalagi sebagai seorang muslim yang taat? Adalah Ngatmin, seorang pemuda dari Desa Nganti, Gemolong, Kabupaten Sragen, berbagi pengalamannya saat ada di tengah lautan lepas.
 Tertarik Dari Pelajaran Sejarah
Anak terakhir dari enam bersaudara ini, mengaku mulai terobsesi untuk menjadi pelaut ketika di SMP mendapat pelajaran Sena-Sedu kependekan dari pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Dunia.
Saat diterangkan tentang penemuan benua-benua di dunia, Ngatmin membayangkan bisa mengikuti jejak mereka. Mengarungi samudra dan menemukan tempat-tempat yang belum terbayangkan oleh manusia lainnya.
"Saya membayangkan enaknya di atas kapal dan menemukan daerah-daerah baru yang belum dikenal," ungkapnya kagum pada Columbus yang menemukan benua Amerika.
Sejak saat itulah, Ngatmin bersemangat belajar dan terbukti, dirinya selalu menjadi urutan pertama disetiap hasil ujian. Bahkan sampai SMA dia menjadi lulusan terbaik.Â
Siswa yang penyuka matematika ini, sebenarnya sudah di terima dalam UMPTN, namun, tampaknya dia telah jatuh cinta pada kapal dan lautan. Padahal dia mengaku belum pernah sekalipun melihat kapal secara langsung. AKPELNI Sampangan, Semarang menjadi jalannya meretas cita-cita.
 Beragama di Atas Kapal
"Di atas kapal, masalah ibadah beda agama tidak jadi masalah, yang penting profesional." Ungkapnya mengenang beberapa perjalanannya di atas kapal. Menurutnya, di atas kapal, semua adalah saudara, satu keluarga yang harus saling mendukung.
 Sebagai awak kapal, dia harus mengutamakan keselamatan dan kemaslahatan bersama. Karena jika lengah lima menit saja dalam waktu tertentu, bisa berakibat sangat fatal. Oleh karena itu, ketika tengah berjaga, dia sering melakukan shalat dengan dijamak.
Untuk menentukan arah kiblat, di kapal-kapal modern, biasanya sudah ada kompas ka'bah. Semacam kompas yang jarumnya selalu menunjuk ke arah letak ka'bah berada, sehingga mempermudah bagi seorang muslim untuk beribadah. Jikapun tidak ada, bisa diperkirakan dengan lokasi kapal dan arah matahari terbit dan tenggelam.
Sedangkan untuk waktu shalat, awak kapal biasanya menggunakan local time, atau waktu setempat. Selain itu, ada alat yang bisa digunakan untuk mengetahui posisi matahari yang disebut sektan, sehingga bisa mengetahui kapan waktu-waktu shalat tiba.
Jika dalam bulan Ramadhan, tidak ada perlakuan istimewa. Tergantung masing-masing orang, apakah akan teguh puasa, atau dengan mengqodo ketika tidak berlayar di luar bulan Ramadhan.
Semua ritual ibadah itu, bagi Ngatmin, tidak jadi masalah.
"Jika kewajiban sudah ditanam dalam hati bahwa itu harus dilakukan, tidak akan merepotkan," Â ungkapnya tegas.
Positive Thinking
Sebagaimana namanya yang sederhana, Ngatmin, begitu juga prinsip hidupnya, "berpikir positif." Prinsip ini penting bagi dirinya yang selalau menantang maut di tengah samudra.
Dia berkisah, saat ombah di laut tak bersahabat, tinggi ombak bisa mencapai enam meter. Dan saat itu, kapal sudah tidak mungkin bisa dikendalikan. Semua dipasrahkan total kepada Tuhan penguasa alam. Dan jika kita lihat kapal dari angkasa, maka yang tampak hanya satu titik kecil, ditengah gelombang lautan yang sangat luar biasa.
"Dari sinilah saya menyadari bahwa tidak ada gunanya kesombongan itu," katanya  sambil menerawang langit-langit.
Bagi pemuda kelahiran 1983 ini, lautan tidak pernah membuatnya gentar dan putusa asa. Karena dia percaya, selain ada nasib yang pasti tidak bisa diubah, seperti rizki, jodoh, dan mati. Namun ada juga nasib yang bisa diubah dengan usaha. Dia yakin dengan adanya usaha akan ada jalan keluar dari semua kesulitan yang dihadapinya.
Fokus Pada Karir
Masa muda adalah masa untuk menempa diri mempersiapkan hari tua. Begitu mungkin yang dilakukan oleh anak Imam Musholla yang terjun ke dunia kelautan itu. Untuk meningkatkan kemampuannya, Ngatmin saat ini melanjutkan pendidikan kelautan di ANT II (Ahli Nautik Tingkat II) selama sembilan bulan di PIP /BPLP, Semarang. Dia tercatat sebagai peserta didik termuda.
Saat ditanya mengenai pernikahan. Ngatmin mengaku sudah memiliki calon. Namun dia masih ingin meniti karir terlebih dahulu. Dan satu obsesinya yang ingin dia capai adalah menahkodai kapal besar yang beratnya sudah tidak dibatasi.
Sudah semestinya, ketekunan akan membuahkan hasil yang gemilang. Terbukti, anak seorang petani kampung di pedalamam Sragen, telah sukses menaklukkan samudera, tanpa harus menanggalkan ketaatan beragama. (Syarif)
*Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 3 tahun I, Mei 2009 dengan judul "Pemuda Desa Penakluk Samudra"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H