***
     "Bapak tahu, siapa yang biasanya menaruh kembang di perempatan gang situ." Tidak sengaja aku bertemu dengan pak RT di warung.
"Oh, itu. Saya juga kurang tahu. Tetapi itu sudah ada sejak dulu sekali Mas. Sejak jalan gang ini masih tanah, belum aspal seperti ini." Pak RT masih mencoba mengingat-ingat, kemudian melanjutkan, "Kalau tidak salah, sejak saya tinggal di sini sudah ada kebiasaan itu. Dan tidak pernah menjadi masalah, sehingga saya juga tidak melakukan apapun." Pak RT yang bukan warga asli kampung tidak banyak membantu.
"Begini pak." Aku mulai menjelaskan maksudku. Mula-mula kuutarakan keherananku, baru kemudian masuk wilayah agama yang melarang seperti itu.
"Begini Mas. Saya tidak membela siapa-siapa. Hanya saja, saya berprinsip selama tidak menimbulkan masalah, dan warga tidak protes, berarti hal itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan." Kata pak RT memupuskan jalan penelusuranku. Tapi bukan berjuang namanya jika menyerah begitu saja. Demi murninya akidah ummat. Masih ada beberapa orang yang bisa kutemui. Pak Kiai.
***
Sore ba'da asar. Aku sengaja menunggu pak Kiai selesai wirid. Masalah ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pak kiai meski belum terlalu sepuh, tampak sekali wibawanya. Tentu beliau sangat mengenal orang-orang kampung ini.
"Maaf Kiai, bisa mengganggu sebentar?" Kusapa dan kusalami Kiai Sahlan. Beliau tersenyum ramah dan membalas.
"Monggoh. Ada apa ya Mas?" Setelah kami menemukan tempat duduk yang nyaman, aku mulai mengutarakan maksudku. Tampak Kiai Sahlan manggut-manggut pertanda paham dengan maksudku.
"Bagini Mas. Bukan berarti saya tidak sepakat dengan anda. Saya itu lahir di kampung ini. Jadi saya tahu persis siapa dan bagaimana karakter orang-orang kampung ini." Sejenak Kiai Sahlan menarik nafas, dan melanjutkan. "Masalah itu, Mas Supri jangan terlalu khawatir. Meski akidah itu adanya di dalam hati. Tetapi saya yakin keberadaan kembang-kembang itu tidak menjadi soal. Itu hanya seperti orang beruluk salam saat bertemu, berpamitan untuk pergi, memberi hadiah ucapan terima kasih yang terbaik, dan sebagainya." Kiai Sahlan menjelaskan dengan banyak perumpamaan yang kurang kumengerti.
"Maksud Pak Kiai, hal-hal seperti itu tidak atau bukan perbuatan syirik. Jelas-jelas mereka menaruh sesaji di tengah jalan. Dan Allah tidak pernah mengajarkan itu semua." Aku membantah mentah-mentah pendapat kiai Sahlan, yang malah hanya tersenyum.