Aku masih memperhatikan, apakah kembang itu terjatuh, atau memang diletakkan di tengah jalan seperti itu. Sejenak saja aku tahu. Kembang itu jelas sengaja ditaruh, tepat di tengah perempatan gang. Aku tertarik untuk mengetahui apa saja kembang yang dibungkus daun pisang itu. Meski sudah berantakan karena roda-roda kendaraan, aku masih bisa menyebutkan satu-satu kembang apa saja yang ada di sana.
Bukan karena indahnya kembang atau bungkusnya yang unik. Tetapi karena kembang itu ada di tengah perempatan, dan menariknya lagi adalah karena kembang itu sengaja ditaruh di sana.
Bukan cara membungkusnya yang salah, atau meletakkannya yang kurang tepat. Tetapi yang menggelitik kesadaranku adalah motif di balik orang yang meletakkan bungkus kembang itu. Tentu mereka ada berharap sesuatu dari adanya kembang itu di sana.
Jika demikian, ini tidak bisa dibiarkan. "Ini adalah bentuk kemusyrikan." Batinku tiba-tiba memberikan suara berpendapat. Tuhan tidak layak dipersekutukan. Aku tahu dari pak RT bahwa semua penduduk desa ini muslim. Kenyataan itu memberanikanku untuk maju. Meski aku orang baru, tetapi aku tidak bisa membiarkan semua ini terjadi. Ini adalah tugas setiap orang untuk meluruskan.
Tapi bagaimana caranya? Sejenak kupikirkan, dan aku menyimpulkan tidak akan menjadi sok pahlawan. Aku tidak perlu tampil di depan umum, berkoar-koar tentang agama. Satu-satunya cara adalah menemukan siapa yang memasang dan berbicara empat mata. Dengan keputusan bulat, akupun memulai penyelidikan.
***
Pagi sekali, hari Jum'at Kliwon. Sehabis salat subuh aku segera menuju perempatan. Pada hari jum'at seperti inilah biasanya kembang-kembang itu diletakkan. Tapi sayang sesampainya di sana, kembang berbungkus daun pisang itu sudah tertata dengan manis. Tepat di tengah perempatan.
     Kondisinya masih rapih, belum rusak. "Berarti, baru saja diletakkan di sini", pikirku menyimpulkan. Jum'at depan aku tidak boleh telat. Kalau perlu aku tidak perlu jamaah subuh di masjid. Ini demi tujuan yang lebih besar. Menyelamatkan akidah ummat.
     Aku pulang dengan hati sedikit kecewa. Menunggu sampai Jum'at depan kupikir bukan cara yang baik. Semakin cepat kuketahui siapa, maka semakin cepat aku menyelamatkan mereka. Maka rencana segera kususun. Beberapa orang akan kujadikan narasumber. Selain itu, warung makan di ujung gang, juga akan menjadi tempat yang strategis mencari informasi.
     Hari semakin siang. Aku segera bersiap menuju sekolah. Sebagai pengampu mata pelajaran agama, aku akan mengisi materi akidah saja. Ini sangat penting. Jangan sampai kemusyrikan mewaris turun temurun.
     Melewati perempatan gang, kembali aku melirik kembang-kembang tadi pagi telah berserakan. Mungkin beberapa roda sudah mengoyaknya. Apa guna kembang-kembang itu, toh hanya jadi pelampiasan roda-roda. "Mubadzir." Pikirku.