Setelah peristiwa itu, Romli memang lebih banyak diam. Dan akhirnya, tidak lama dia berpamitan pergi menyusul Alip kakaknya. Merantau. Kebetulan ada perusahaan perkebunan kelapa sawit di Lampung yang memerlukan karyawan baru. Saat ini dia sudah sampai di sana.
Angan-angan pak Rahman terus melayang, membayangkan kondisi kedua anak laki-lakinya. Sekaligus keinginannya untuk bersama istri naik haji tahun depan. Dua hal yang selama ini tidak pernah datang bersamaan dan berbenturan dalam pikirannya.
"Ah. Apakah aku terlalu egois?" Pak Rahman bergumam ketika tersadar dari angan-angannya. Ia kemudian berdiri dan melangkah masuk. Istrinya yang sedang masak di dapur kemudian dipanggil.
"Ibu! Kemarilah." Istrinya segera muncul dari balik pintu belakang. Dengan masih dalam keadaan tidak tahu apa-apa, Pak Rahman melanjutkan.
"Besok, kita akan pergi ke Jakarta dan kemudian ke Lampung. Kita akan menengok rumah Alip dan kemudian ke tempatnya Romli."
Istri Pak Rahman hanya terbengong belum mengerti. Ada apa? Tapi dia dapat melihat mata suaminya berkaca-kaca. Suaminya menangis. Tapi kenapa? Dilihatnya kertas surat ditangan suaminya dan kemudian diambil dan membacanya,
Lampung, 15 Februari 2007
Kepada Ayahanda yang Terhormat
Di Pekalongan
.....................
Jogja, 2007.
*Cerpen ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 6 tahun I Nopember 2009