Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cita-cita Ayah

12 Agustus 2020   05:32 Diperbarui: 12 Agustus 2020   05:41 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah, sebelumnya anakmu ini meminta maaf. Karena sudah salah sangka dan telah membenci ayah sebelum keberangkatanku. Masih kuingat sebelum berangkat, ayah bilang,

"Dimanapun kamu mencari rizqi, Tuhan telah menakarnya. Yang diperlukan hanya berusaha. Jadi tidak perlu khawatir."

Saat itu, Romli hanya mengangguk dan mengiyakan. Padahal hatiku sungguh tidak demikian. Ingin Romli pertanyakan, bahwa usaha itu tidak cukup dengan tekad. Kemandirian macam apa yang ayah maksudkan dengan mulai hidup tanpa bekal? Apalagi ketika ayah tidak mengijinkan Romli untuk bekerja di Jepang yang cukup menjanjikan. Hanya karena tempatnya jauh dan perlu biaya yang cukup banyak pula untuk memulainya. Padahal, Romli tahu, sebenarnya ayah memiliki uang sejumlah itu.

Sejujurnya, saat Romli pergi ke Lampung, Romli belum memiliki satu gambaran masa depan sama sekali. Hanya saja, Romli merasa tidak bisa lagi tinggal lebih lama di rumah. Rumah tidak lagi menjadi surga bagiku saat itu. Maka kuputuskan pergi, kemanapun, asal tidak lagi dekat denganmu, ayah. Karena Romli merasa, ayah tak pernah mengerti, apa sebenarnya kehendak anaknya.

Sekali lagi maaf ayah. Mungkin ini kekeliruan anakmu. Yang tidak pernah merasakan cinta kepadamu. Romli hanya merasa segan dan menghormati ayah. Sebagai orang tua yang telah menjadi jalanku untuk melihat dunia ini. Romli merasa tidak pernah diajari cinta oleh ayah. Romli tidak pernah diajari mencintai hidup ini. Romli hanya diajari untuk tahu, bahwa hidup itu susah. Dan harus berusaha keras. Itu saja.

Keberangkatan Romli ke Lampung, Romli harap menjadi satu jalan keluar. Dan kemarin sebelum sampai ke Lampung, Romli mampir dulu berkunjung ke rumah Mas Alip di Jakarta. Romli banyak cerita dan dia pun juga. Dari situlah Romli baru mengerti, apa sebenarnya maksud dari ayah selama ini. Mengapa membiarkan kami mulai hidup mandiri dengan tanpa apa-apa. Tapi mengapa ayah tak pernah bilang terus terang kepada Romli? Apakah ayah khawatir Romli akan menentang? Tidak ayah, Romli tidak akan menentang keinginan mulia ayah.

Pada awalnya, ketika Mas Alip bercerita, Romli memang merasa jengkel dan marah. Mengapa kami menjadi korban? Korban. Ya, korban adalah yang paling tepat Romli sebutkan waktu itu. Mengapa keinginan ayah itu menjadikan kami terpaksa bertahan hidup dengan amat susah. Mungkin ayah tak pernah membayangkan kesusahan Mas Alip dan Romli berada di rantau. Yang  hanya bisa bertahan hidup dengan normal sampai pertengahan bulan saja. Yang selanjutnya kami harus hidup dengan gali lubang dan tutup lubang.

Ayah pasti tidak pernah menyadari itu. Karena ketika kami pulang pun, kami tidak pernah ceritakan semuanya. Kami ingin ayah bahagia dan merasa berhasil mendidik anak-anaknya. Kami ingin ayah sendiri yang peka dengan kondisi kami, ketika berkunjung ke tempat rantau kami. Kami ingin ayah mengerti, bagaimana susahnya hidup jauh dari uluran tangan orang-orang yang pemurah. Tapi ayah tak pernah menyadari itu. Atau mungkin tak mau menyadari itu. Seolah-olah, kepergian kami dari rumah merantau adalah seperti keputusan anak ayam yang melepaskan diri dari kandang. Yang pemiliknya tak lagi ada urusan. Karena dengan modal cakar dan paruhnya, pasti bisa mencari makan.

Pada awalnya Romli tidak habis pikir. Dan ingin kembali pulang ke rumah setelah Mas Alip bercerita tentang keinginan mulia ayah. Romli ingin meluapkan semuanya langsung. Agar ayah mengurungkan niat ayah, dan untuk lebih memperhatikan dulu kondisi anak-anak ayah yang susah dirantau ini.

Tetapi niat itu Romli urungkan setelah Mas Alip berkata, "jangan kau pulang dan marah kepada ayah. Ayah punya hak untuk memiliki keinginan itu."

Sejenak Romli berpikir. Romli tidak terima. Bagaimana mungkin ayah mementingkan hak pribadinya dengan mengorbankan kewajiban kepada anak-anaknya? Tapi karena penjelasan Mas Alip, bahwa kami sebagai anak-anak ayah, selama ini belum bisa menberikan apa-apa. Maka Romli sadar. Perjuangan kami adalah wujud bakti kepada orang tua. Karena kami tidak mungkin bisa membantu apa-apa. Kapan lagi kita bisa menjadi anak yang berbakti?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun