Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Awas! Ora Elok, Nanti Kualat!

27 Juli 2020   12:16 Diperbarui: 27 Juli 2020   12:19 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, dalam setiap bentuk laku tindakan mereka, banyak sekali mengandung simbol yang berarti pengharapan dan doa. Misal seorang dalam dekorasi pernikahan, dapat dipastikan memakai janur, yaitu dau kelapa yang masih muda, kemudian dilengkapi pisang raja, dan juga kelapa gading. 

Dekorasi itu, tidak semata menjadi syarat keindahan dalam resepsi pernikahan, namun juga berarti doa dan harapan, agar pasangan pengantin dikaruniai kesuburan layaknya janur yang kemuning, banyak anak yang rupawan seperti kelapa gading, dan memberikan manfaat keberkahan yang besar bagi lingkungan, seperti pisang raja yang enak rasanya.

Alih generasi ke generasi, tidak selalu diikuti dengan transformasi atau penyampaian budaya yang utuh, sehingga sampailah pada masa sekarang, ikatan-ikatan norma yang dahulu dibangun, menjadi semacam hanya mitos yang dibalut dengan kata ora ilok dan ancaman kualat. 

Para orang tua kita tidak telaten untuk menceritakan arti di balik setiap perilaku-perilaku itu. Sebagai anak, kadang juga tidak ada terbersit kehendak hati untuk bertanya. Jadilah, rangkaian ikatan norma yang dibangun sedemikian luhur hanya menjadi mitos semata bagi anak-anak masa kini.

Batasan dengan Tahayul

Istilah ora ilok maupun kualat saat ini banyak dikaitkan dengan tahayul dan hal-hal yang tidak masuk akal. Sehingga banyak  ahli agama memperingatkan untuk berhati-hati karena bisa membahayakan iman dan akidah seseorang. 

Misalkan tidak boleh menebang kayu sembarangan, seringkali dikaitkan dengan makhluk halus yang ada tinggal bersemayam di pohon tertentu. Sehingga yang terjadi adalah orang datang membawa sesaji yang berupa makanan dan sebagainya sebagai prasarat. Inilah yang kemudian ditakutkan akan menjebak umat pada kesyirikan.

Namun ada saja orang yang memberikan penilaian berbeda. Memberikan sesaji sebelum sebuah pohon ditebang, bukan berarti syirik, akan tetapi bentuk etika manusia kepada makhluk lain yang barangkali saja bertempat tinggal di pohon tersebut. Sehingga sesaji itu bukan dalam bentuk persembahan atau mengabdi, namun sebagai wujud etika semata.

Jika dihadapkan pada kondisi seperti di atas, tentunya akan timbul pertanyaan, dimanakah sebenarnya batas suatu perilaku itu bisa disebut mitos dan tahayul yang berakibat syirik, dan mana yang bukan. 

Untuk menjawab ini, orang sering menganalogikan kepada obat. Obat yang berasal dari dukun, kemudian seringkali dianggap sebagai mitos, tahayul dan syirik, sedangkan obat yang diberikan dokter adalah bukan syirik, karena ada kajian secara ilmiah. Namun apakah syirik itu berarti tidak ilmiah, dan yang ilmiah itu tidak syirik? Coba kita cari batasan yang lebih jelas.

Syirik itu dapat diartikan sebagai perbuatan hati yang mendudukkan selain Allah menjadi Tuhan yang disembah, ditaati, dan dimintai pertolongan bersama dengan Allah. Sehingga apapun perbuatan manusia yang mnyekutukan Allah dalam kedudukannya sebagai sesembahan dan tempat pertolongan, maka dapat disebut sebagai syirik. Jadi syirik itu terkait dengan keimanan seseorang kepada Allah, bukan pada masalah rasional dan tidak rasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun