Satu surat Al Qur'an yang diklaim sebagai surat pertama diturunakan adalah surat al 'Alaq. Ayat pertama dalam surat itu adalah frasa perintah untuk membaca, Iqro'. Perintah membaca tidak pernah ditujukan kepada orang yang tidak mampu membaca atau ketiadaan sesuatu yang dibaca. Sehingga saya memaknai surat ini bukan saja implikasinya sebagai perintah membaca, namun secara eksplisit berisi ajaran tentang bagaimana mestinya cara orang untuk membaca.
Tujuan membaca adalah menemukan maksud atau makna yang terkandung di balik apa yang kita baca. Tidak perduli apa yang kita baca. Apakah itu berupa naskah tulisan, atau bahkan hanya sebongkah batu yang hitam.Â
Menempuh perjalanan menuju suatu tempat menuju tempat lain juga bisa disebut membaca. Bercakap dengan seseorang juga bagian dari membaca. Merenung untuk memperoleh jawaban dan solusi adalah juga membaca. Bahkan setiap akal kita berusaha menterjemahkan objek yang tertangkap oleh indra kita, tidak boleh tidak kita sebut sebagai proses membaca.
Bagaimana mestinya membaca, sehingga kita benar-benar akan memperoleh nilai yang kita cari? Al Qur'an dalam surat Al 'Alaq ini telah mengajarkannya.
Ayat pertama menuntun kita untuk memulai proses membaca itu dengan disertakan asma atas nama Tuhan yang telah menciptakan. Hal ini tidak cukup kita maknai hanya membaca basmalah di awal proses, namun hendaknya Tuhan menjadi ruh dalam keberlangsungan proses kita. Itulah sebabnya dalam ayat itu menerangkan kemudian bahwa Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan yang Maha Menciptakan.Â
Artinya pembacaan kita tidak boleh lepas dari kontrol dan kesadaran bahwa apapun yang tengah kita kaji, dan bahkan alat intelektualitas kita yang digunakan untuk membaca tidak lain adalah ciptaan Tuhan itu sendiri. sehingga pada ayat kedua, dijelaskan bahwa Dia lah yang menciptakan manusia dari segumpal darah.Â
Ayat ini seperti ingin mengikat kita bahwa diri kita ini yang tengah berusaha menterjemahkan banyak hal adalah tidak lain ciptaan Tuhan juga. Dengan demikian selama proses pembacaan kita tidak boleh lepas dari syukur dan kerendahan hati yang paling puncak.
Dalam ayat ke-tiga sampai ke-lima, Allah ingin menegaskan kembali, bahwa pemahaman yang kita hasilkan dalam upaya membaca kita bukan murni hasil kuasa kita, namun ada Dia yang pada hakekatnya telah mengajarkan manusia dengan perantara kalam. Dan tiada pihak yang lebih patut diajukan terimakasih kecuali Dia, karena Dia lah yang telah mengajarkan manusia dari apa yang sebelumnya tidak dia ketahui.
Cangkir Kosong
Jika kita menuangkan air kedalam cangkir berisi air yang penuh, tentu yang terjadi adalah air yang kita tuang akan tumpah sia-sia. Begitu pula dalam hal membaca. Jangan sekali-kali kita memposisikan diri penuh berisi ketika bermaksud menyerap ilmu yang murni. Kalau perlu kosongkan cangkir ilmu ilmu untuk menampung ilmu semesta yang luas.
Surat al 'Alaq menjelaskan hal tersebut di atas. Dalam ayat ke enam dan ke-tujuh jelas dinyatakan bahwa kebanyakan dari orang itu bertindak melampaui batas karena menganggap dirinya telah cukup. Dari sini Allah seperti hendak berkata kepada kita, bahwa kebanyakan orang tidak melakukan hal sebagaimana diterangkan dalam ayat satu sampai dengan lima hanya karena mereka merasa telah memiliki pengetahuan yang cukup, dan mengingkari keberadaan ilmu yang lebih luas.
Kebanyakan manusia merasa puas dan bangga dengan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga menutup diri dari keberadaan argumen di luar dirinya. Dalam bahasa lain, mereka telah memenuhi cangkir ilmu mereka sehingga apapun ilmu yang ditawarkan dan disiramkan kepada mereka, akan meluber dan sia-sia.
Penempatan diri berada di atas dan berlebih (merasa lebih pandai) ketika kita memutuskan untuk membaca adalah sebuah kekeliruan besar. Hikmah tidak akan hinggap pada hati yang menjulang tinggi, namun menyapa hati-hati yang merunduk dalam. Merasa cukup dalam berilmu adalah penghalang besar dalam menuntut ilmu.
Dalam ayat yang kemudian (8), Allah memperingatkan bahwa tindakan seperti itu (merasa cukup dalam keilmuan) hanya akan berbuah sesal, karena hanya kepada Allah semuanya akan kembali. Artinya semua hal itu akan kembali ke asal, termasuk ilmu itu sendiri. tersirat ancaman Tuhan di sini. Yaitu jika kau tetap bersikap demikian, maka persiapkan dirimu untuk terjerumus dalam kebodohan!
Pada ayat 9 hingga akhir, Allah mengajak kita berdialektika. Allah seperti bertanya kepada kita, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang melarang seorang hamba yang tengah shalat? Sedangkan setahu kamu dia itu adalah orang yang pandai dan selalu mengajak kepada kebaikan dan ketaqwaan. Bagaimana jika ternyata orang yang melarang itu mendustkan dan berpaling?
Sekilas dengan membaca teks demikian kita akan menemukan ketidak jelasan. Bagaimana mungkin seorang yang mengajak kepada kebenaran malah justru melarang seseorang menjalankan shalat? Dan mengapa pula Allah masih bertanya kepada kita tentang sikap kita kepada orang yang melarang orang shalat sedang dia pendusta dan ingkar?
Setelah Allah mengajarkan kita cara membaca dengan benar, barangkali pertanyaan-pertanyaan itu adalah sebuah bentuk evaluasi bagi kita. Apakah cara membaca sudah benar atau belum. Apakah hasil kesimpulan kita sudah merujuk yang dimaksud Allah atau belum.Â
Kita jangan khawatir akan tersesat dalam jawaban yang keliru, karena Allah sendiri telah memberikan kunci jawabannya dalam ayat berikutnya, yaitu ayat ke 14 hingga akhir. Allah menyatakan dengan jelas, tidakkah dia tahu bahwa Allah melihat segala perbuatannya? Jawaban Allah dalam bentuk pertanyaan ini cukup sudah memberikan pemahaman yang lengkap.
Untuk menemukan nilai kebenaran dalam sebuah ungkapan yang dikemukakan seseorang, haruslah dicross ceck dengan perilaku orang yang bicara tersebut. Apakah benar dia berkata itu sesuai dengan nilai-nilai yang di pegang, ataukah dia hanya seorang pendusta yang ingkar. Ini merupakan metode penemuan kebenaran yang korespondensif. Yaitu kebenaran bisa dikatakan benar adalah ketika memiliki satu harmonisasi dengan postulat kebenaran-kebenaran yang lain.
Dalam ayat-ayat berikutnya Allah memberikan ancaman yang mengerikan kepada orang-orang yang bicara dan berkata dengan tidak berbasis kepada nilai-nilai keliahian yang dia pegang. Ketika seorang pendusta dan ingkar berbicara tentang ketaatan maka sebenarnya baginya yang ia sampaikan bukan kebenaran, melainkan kebohongan.Â
Jika masih saja dia meneruskan perbuatan semacam itu, maka Allah tidak segan-segan untuk membinasakannya. Dalam surat ini dijelaskan Allah akan memerintahkan malaikat Zabaniyah untuk menarik ubun-ubun mereka, dan mereka tidak memiliki penolong sekalipun didatangkan segolongan manusia dari kelompok mereka, akan sia-sia adanya.
Dalam ayat terakhir, Allah memberikan jalan terbaik, ketika kita bimbang dalam menilai diantara dua kemungkinan antara kebenaran dan kedustaan, yaitu dengan memperbanyak sujud dan taqorrub kepada-Nya. Karena tidak ada penilaian yang mutlak kecuali penilaiannya. Tidak ada pandangan yang menyeluruh kecuali pandangan-Nya. Dialah yang maha mengetahui segala rahasia dibalik setiap kepala dan hati manusia. Untuk bisa melongok sedikit rahasia itu, tidak lain caranya adalah mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Rahasia.
Akhirnya, sebagai pamungkas, saya mengajak kita semua untuk benar-benar menata hati dan pikiran kita. Jangan sampai menjadi seorang yang terhalang dari hikmah dan ilmu Allah hanya karena kita merasa cukup pandai. Hanya dengan kerendahan hati dan merunduklah, pendar-pendar pemahaman itu akan datang dan bersemayam dalam sanubari kita.
Keyakinan bahwa semuanya hanya milik Allah dan akan kembali kepada_Nya, semoga selalu mengiringi setiap laku membaca kita. Sehingga penilaian kita tidak lain adalah penilaian Allah. Pandangan kita tidak lain dan bukan adalah pandangan Allah. Dan pemahaman kita hanyalah Allah yang menganugerahkannya. Amin. Wallahua'lam Bisshowab. Syarif_Enha@Sorogenen, 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI