Sering kita mendengar orang berdoa dan mendoakan orang yang akan, sedang, dan baru saja menikah, atau yang sedang merayakan ulang tahun pernikahan, atau secara khusus mendoakan pasangan dalam keluarga, yaitu dengan doa "semoga menjadi keluarga yang Sakinah, mawaddah wa rahmah".
Jika ditilik dari maksud alias niat orang yang mendoakan, tentu tidak ada masalah dengan ucapan doa tersebut. Karena yang akan sampai kepada Tuhan adalah niat dan maksud si Pendoa. Namun, jika kita tilik dari makna dan peruntukan, tentu kita bisa mengupasnya dan mengkritisi agar lebih tepat nantinya dalam penggunaan.
Secara Bahasa, sakinah itu bermakna ketenangan, ketentraman. Mawaddah itu bermakna cinta, dan rahmah biasa diartikan sebagai kasih sayang. Tujuan keluarga adalah tenang, Sakinah. Dan cara agar sampai kepada ketenangan atau Sakinah, adalah menghiasi suasana keluarga dengan cinta dan kasih sayang. Dengan kata lain, modal yang haris dimiliki pasangan agar menjadi keluarga yang Sakinah adalah adanya cinta (awaddah) dan (kasih sayang).
Dengan penjelasan seperti di atas, tentu kita sebaiknya segera menempatkan doa bagi pasangan berkeluarga dengan lebih tepat. Tentu bukan kita mempersoalkan atau khawatir bahwa Tuhan tidak akan memahami yang dimaksud. Namun, agar doa yang kita panjatkan benar-benar hadir bersama kesadaran dan maksud yang kuat.Â
Doa adalah permohonan, ia bukan mantra yang asal dibaca dan rapalkan akan memiliki pengaruh tertentu. Dalam doa, hati perlu hadir. Sebagaimana Rasul mengingatkan bahwa Tuhan akan mengabaikan doa dari hati yang lalai. Doa yang sekedar dirapalkan tanpa kehadiran hati si Pendoa.
Terlalu sering mendengar dan merapalkan, menjadikan kita tidak kritis, dan menjadikan hati lalai. Saking seringnya mendengar doa itu dipanjatkan, kita merasa tidak perlu lagi mempermasalahkan. Saking seringnya kita mendoakan orang dengan lafadz tersebut, menjadikan doa itu hanya mengalir melalui lidah. Semua menjadi latah. Tidak ada esensi yang berangkat dari hati.
Saya termasuk orang yang tidak mau ribet dalam berdoa. Jadi Ketika suatu Ketika mendengar penjelasan di atas, sepenuhnya saya menerima. Apa masalahnya jika dengan pemahaman baru ini, kita akan lebih "sadar" ketika mengucapkan doa.Â
Di sisi lain, saya juga tidak menyalahkan orang yang masih berdoa dengan lafadz tersebut. Karena tentu yang mereka maksud adalah seperti yang dijelaskan di atas. Mereka tentu berharap pasangan yang didoakan menjadi keluarga yang bahagia, baik-baik saja, dipenuhi cinta, saling kasih sayang, dan dengan demikian keluarga mereka dilabeli sakinah, tenang, tentram.Â
Lafadz doa paten di atas, bagi saya sudah menjadi mantra, dimana doa sejatinya tersimpan di bilik terdalam sanubari si pendoa. Apalah arti kata, di hadapan Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi?
Jadi, bagaimana sebaiknya mendoakan pasangan yang menikah? Monggoh saja, bagi saya berdoa itu bebas. Yang penting hadirkan doa itu dari hati. Karena jika tidak hadir dari hati, maka ia hanya basa-basi. Basa-basi dengan manusia itu bisa jadi adalah bagian dari etiket pergaulan, namun basa-basi dengan Tuhan? Janganlah.
Seringkali, kita merasa tidak mantab jika berdoa tidak dengan Bahasa Arab. Sehingga kita "paksakan" diri menghafal berbagai macam doa dalam Bahasa Arab tersebut.Â
Apalagi memang ada pendapat yang menyatakan bahwa doa yang baik adalah sebagaimana diajarkan dan dicontohkan oleh Rasul, yang tentu saja berbahasa Arab.Â
Tentu itu semua tidak masalah, dan mungkin memang lebih utama, namun sekali lagi, hadirkan hati. Jangan sampai doa-doa yang kita panjatkan hanya menjadi rangkaian mantra. Jika hanya begitu, apa bedanya kita dengan para ahli nujum....?
Syarif_Enha@Nitikan, 4 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H