Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Perlu Ganti Pemain atau Ganti Pemimpin?

24 Mei 2020   02:47 Diperbarui: 24 Mei 2020   02:49 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengertian yang sering kita pahami adalah pergantian. Mengganti adalah sebuah aktivitas yang ringan dan biasa. Tinggal persoalannya apa yang kita ganti itu. Ada dialektika dalam sebuah reshuffle. Sesuatu diganti karena ada faktor yang mendasar. Apakah karena sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, atau karena ada sesuatu yang baru yang lebih baik. Atau bahkan ada kepentingan atau konspirasi dibalik sebuah pergantian.

Dalam permainan bola, pergantian pemain bisa di dasarkan pada kepentingan pragmatis teknis di lapangan, atau lebih masalah strategi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka pendek untuk memenangkan pertandingan yang tengah berlangsung, dan jangka panjangnya adalah memenangkan tim dalam kompetisi liga misalnya. 

Penggantian pemain dalam sepak bola tidak serta merta karena faktor skill dan stamina, tetapi kadang lebih menghindari cidera dan persiapan untuk pertandingan berikutnya. Sehingga tidak mengherankan ketika tim yang sudah menang kadang justru lebih banyak mengganti pemainnya, dibandingkan dengan tim yang kalah.

Misalnya dalam pertandingan Euro 2008 kemarin, Jerman melakukan pergantian pemain pada menit 90 + 2, dan pada waktu itu posisi Jerman unggul tipis 1-0. Alasan apa yang mendasari penggantian pemain itu, karena secara teknis seorang pemain baru yang hanya bermain satu menit terakhir, sangat kecil kemungkinan untuk bisa mengubah skor. Tapi di sini yang di skenariokan adalah waktu.

Karena permainan bola memiliki waktu yang tetap dan pasti yaitu 90 menit, maka ini menjadi satu ajang bergengsi untuk berlomba semaksimal mungkin memanfaatkan peluang waktu itu. Tim yang kalah akan mati-matian menyerang di waktu-waktu terakhir, lain dengan tim yang menang cenderung bertahan. Dan kadang pergantian pemain dalam kondisi sisa waktu menjadi satu strategi jitu.

Reshuffle Pemimpin.

Jelas kalau yang ini akan lebih sulit. Jika dalam sepak bola, pelatih memiliki otoritas penuh terhadap pergantian pemain di lapangan. Dia yang berhak menentukan siapa yang bermain dan siapa yang duduk di bangku cadangan. 

Ada satu otoritas yang pasti. Sedangkan untuk me-reshuffle pemimpin diperlukan sebuah konvensi, kesepakatan semua unsur orang-orang yang dipimpin. Ini akan lebih sulit dan beresiko. 

Bisa-bisa bukan berhasil me-reshuffle pemimpin, justru dengan kuasa kesewenangannya, pemimpin dengan mudah me-reshuffle anak buahnya. Ini namanya serangan balik yang sangat efektif.

Sama seperti dalam sepak bola, mesti ada alasan yang mendasari, mengapa harus dilakukan reshuffle kepemimpinan. Apakah karena persoalan kapasitas yang kurang mumpuni, atau lebih pada politik kekuasaan dengan adanya calon baru yang ingin menggantikan. Ini yang kadang kurang disadari oleh aksi reshuffle yang diusung oleh banyak pihak. 

Mereka mengganti karena murni ingin kepemimpinan lebih baik, atau karena ada orang lain yang juga pingin jadi pemimpin. Coba anda bayangkan, jika semua pemain cadangan memaksa untuk turun ke lapangan? Yang ada mungkin hanya ribut, minggir! Gentian donk!

Jika alasan dasarnya, adalah profesionalitas, mestinya si pemimpin itu sendiri bisa menyadari, dan baiknya mengundurkan diri. Sebagaimana sering dalam permainan bola, seorang pemain yang tiba-tiba terkena cidera, dengan kebesaran hati, mereka akan menyatakan ganti kepada pelatihnya, demi efektifitas permainan. Jika dia memaksa untuk bermain, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Ketidak-efektifan dan sebuah pemborosan tenaga.

Resfuffle pemimpin seringkali menemui kesulitan. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesadaran dan kesepahaman siapa menentukan siapa. Pemimpin menentukan anak buah atau anak buah menentukan pemimpin. Jika dalam shalat, apakah seorang imam akan menentukan anak buahnya, siapa saja yang boleh makmum dengan dirinya, ataukah makmum yang menentukan imamnya. Siapa yang memiliki kapasitas bacaan dan keilmuan, dia yang memimpin. 

Dan jika imam kentut di tengah shalat ya, hak makmum untuk menggantinya. Jangan imamnya malah ndableg tak mau turun. Lha wong wis ngentut kok ijih pingin dadi imam!

Memimpin itu kan tidak mudah alias sulit. Makanya orang-orang yang dipimpin dengan penuh kesadaran memberikan beberapa fasilitas untuk mempermudah tugas si pemimpin. Tapi karena sudah berjalan lama dan terus menerus, maka fasilitas yang diberikan kepada pemimpin sebagai sarana mempermudah cenderung di bakukan. 

Bagaimanapun kondisi masyarakat, fasilitas pemimpin ya segitu itu. Seperti apapun kinerja pemimpin, ya jatahnya segitu itu. Akhirnya terjadi pembalikan nalar, bukan lagi pemimpin yang dibantu dengan fasilitas penunjang, tetapi fasilitas yang justru menentukan kinerja pemimpin. Pemimpin yang tadinya berterimakasih atas fasilitas bantuan dari masyarakat, saat ini justru mereka marah dan menuntut jika fasilitas itu tidak sesuai dengan keperluan. Lho, ini mau memimpin apa merampok too...? Di reshuffle saja! 

Syarif_Enha@Jogja_2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun