Jika alasan dasarnya, adalah profesionalitas, mestinya si pemimpin itu sendiri bisa menyadari, dan baiknya mengundurkan diri. Sebagaimana sering dalam permainan bola, seorang pemain yang tiba-tiba terkena cidera, dengan kebesaran hati, mereka akan menyatakan ganti kepada pelatihnya, demi efektifitas permainan. Jika dia memaksa untuk bermain, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Ketidak-efektifan dan sebuah pemborosan tenaga.
Resfuffle pemimpin seringkali menemui kesulitan. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesadaran dan kesepahaman siapa menentukan siapa. Pemimpin menentukan anak buah atau anak buah menentukan pemimpin. Jika dalam shalat, apakah seorang imam akan menentukan anak buahnya, siapa saja yang boleh makmum dengan dirinya, ataukah makmum yang menentukan imamnya. Siapa yang memiliki kapasitas bacaan dan keilmuan, dia yang memimpin.Â
Dan jika imam kentut di tengah shalat ya, hak makmum untuk menggantinya. Jangan imamnya malah ndableg tak mau turun. Lha wong wis ngentut kok ijih pingin dadi imam!
Memimpin itu kan tidak mudah alias sulit. Makanya orang-orang yang dipimpin dengan penuh kesadaran memberikan beberapa fasilitas untuk mempermudah tugas si pemimpin. Tapi karena sudah berjalan lama dan terus menerus, maka fasilitas yang diberikan kepada pemimpin sebagai sarana mempermudah cenderung di bakukan.Â
Bagaimanapun kondisi masyarakat, fasilitas pemimpin ya segitu itu. Seperti apapun kinerja pemimpin, ya jatahnya segitu itu. Akhirnya terjadi pembalikan nalar, bukan lagi pemimpin yang dibantu dengan fasilitas penunjang, tetapi fasilitas yang justru menentukan kinerja pemimpin. Pemimpin yang tadinya berterimakasih atas fasilitas bantuan dari masyarakat, saat ini justru mereka marah dan menuntut jika fasilitas itu tidak sesuai dengan keperluan. Lho, ini mau memimpin apa merampok too...? Di reshuffle saja!Â
Syarif_Enha@Jogja_2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H