Tulisan ini belum cukup mewakili kisah hidup Mama Rifa. penulis hanya memotret semangatnya mencari Rejeki dihamparan semesta ini.
cukuplah dengan kisah ini menggugah rasa empati kita.
Penulis : Syarifuddin (28/03/2017).....Langkah kaki wanita paruh baya terkadang tak kuasa menahan beban hidup yang selalu membanyangi setiap langkahnya. Rasa sedihnya atas himpitan derita hidup seolah bersembunyi dibalik seyumannya serta canda tawanya saat menjajalkan kue dagangannya. semua dia lakukan demi menunaikan harapan hidup ke empat orang dan membayar rumah kontrakan tempat dimana dia bersama suami dan anak-anaknya bernaung memadu kasih sayang dalam dekapan kebahagiaan. Sosok wanita paruh baya itu aku memanggilnya “Mama Rifa”. Ibu yang terbilang tidak muda lagi itu sehari-harinya menjinjing kerangjang berisi kue tradisional mencari rejeki tanpa kenal lelah ia melangkah dalam pelukan terik matahari, sesekali ia menghela napas panjang pertanda penat setiap saat mengusik tubuhnya.
Ruangan ber ac, mobil mewah, baju dinas yang mahal bagi Mama Rifa semua itu hanya ada dalam mimpinya yang tidak pernah terwujud. Keuntungan dari menjual kue membuatnya tidak pernah patah semangat untuk terus menjajalkan kue tradisionalnya dari pintu-pintu kantor yang dihuni ribuan PNS. Terkadang ia harus menahan sakit akibat lelah, namun harapannya akan masa depan anak-anaknya jauh lebih penting baginya ketimbang berkeluh kesah atas apa yang dia jalanani.
“Állah sudah mengatur rejeki kita, saya hanya bisa ikhlas dan sabar, harapan saya semoga dengan ini anak-anak saya dapat mengenyam dunia pendidikan sebagaimana anak-anak lainnya. Cetus Mama Rifa sambil mengusap keringat diwajahnya”Napasnya tersengau menahan rasa sedih yang mendalam hingga terkadang saya mengajaknya bercanda untuk menghiburnya dan terkadang pula saya larut dalam kepiluannya. Orang tua mana yang rela membiarkan anak-anaknya terlantar. Imbuhnya.
Mama Rifa satu dari potret nestapa kaum perempuan papah di Mamuju yang rela berjibaku dengan derasnya persaingan hidup dalam lintasan waktu menerobos garis kemiskinan dari pagi hingga sore. Saat malam tiba dia, anak dan suaminya larut dalam mimpi-mimpi hari esok yang cerah. Menggantungkan nasib pada keranjang kue tidak membuatnya lekang dari kata sabar dan ikhlas. Setiap langkahnya adalah tasbih atas kesabaran yang membuatnya tegar demi dan atas nama cinta sang Ibu pada buah hatinya yang tak pernah pupus oleh roda zaman. Raut wajahnya memancarkan keteduhan jiwanya tatkala mendapatakan ocehan dari sang pembeli kue dagangannya. Kue yang harganya 10.000/bungkus masih juga ditawar oleh pembeli yang rata-rata dari kalangan Pegawai Negeri Sipil. Namun karena keteduhan jiwanya semua ocehan dan tawar menawar itu dibalas dengan canda gurau, padahal keuntungan 1.000 rupiah/bungkus dari menjual kue tidaklah seberapa jika dibandikangkan penghasilan PNS setiap bulannya bahkan membeli sekeranjang kue itu tidak membuat gaji mereka habis.
Tapi itulah Mama Rifa ia selalu berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya dibalik canda guraunya pada pembeli. Mereka (PNS) sejatinya mengambil hikmah dari keteduhan dan ketegaran Mama Rifa dalam bekerja walaupun sering mendapat ocehan tapi ia tetap tegar dan tabah. Boleh jadi kehadirannya ditengah-tengah kita adalah ujian dari Allah namum kita mengabaikannya karena kita telah menciptakan sekat antara diri kita dengan dia.
Tanpa berlagak Narsis atau Ria....Dipagi buta tatkala saya hendak ke pasar, disebuah lorong menuju Rumah, Aku tersentak kaget melihat Mama Rifa dari kejauhan menjinjing keranjang kuenya. Begitu dia mendekatiku, aku menghentikan sepeda motorku dan menyapanya hendak kemana engkau membawa kue-kue itu. Tampak raut wajahnya yang tersipu malu ia menjawab dengan nada sedih kue-kue ini hendak saya jual sebab hari ini saya butuh uang untuk anak-anakku pak.
Tidak berselang lama aku pun melanjutkan perjalananku ke pasar. Sepanjang perjalanan menuju pasar aku tidak habis pikir apakah benar dia sangat membutuhkan uang untuk anak-anaknya hingga menjual kue diluar kebiasaannya pada libur kantor atau karena rumah kontrakan yang dia tempati sudah jatuh tempo. Tapi mana cukup, bukankah rumah kontrakan di Mamuju sangat mahal..? rasa penasaran yang dalam bercampur ibah hingga akhirnya disepanjang jalan aku meneteskan air mata atas apa yang barusan aku saksikan. Hingga dalam hatiku pun bergumam dengan untaian Doa “Ya Allah Engkau adalah Tuhan Maha Pemberi, Maha Kasih Maha Sayang, Engkau tak pernah tidur atas apa yang dilakukan Hambamu, engkau tak pernah jauh dari hamba-hambamu yang sedang dilanda kesulitan, mudahkanlah kesulitan hambamu yang sedang berpacu dengan waktu mengais rejeki demi cinta atas keluarganya , kuatkanlah batinnya dalam menjalani segala ujian yang engkau berikan padanya, peluklah kesabarannya dengan kasih sayangmu.. jadikanlah setiap langkah dan keringatnya sebagai Rahmat-Mu”perkenankanlah Doa Hambamu ini Ya Allah.
Sepulang dari pasar, saya menaroh belanjaanku dibalai-balai depan rumah, kemudian istriku yang dengan senyuman manisnya menghampiriku dan berkata, Abi tadi ada seorang perempuan datang menawarkan kuenya kepadaku sambil bertanya apakah ini Rumah Pak Syarif..?istriku pun menjawab iya, Ibu kenal dengan suami saya..?Iya bu..Suami Ibu sering membeli kue dagangan saya, beliau (suami Ibu) sangat ramah dan suka bercanda, ketika bertemu beliau saya merasa terhibur bu.. jawab Istriku, Iya jangankan diluar rumah, dirumah pun sering bercanda denganku.. bukan itu saja bu.. timpal Mamara Rifa beliau sering memberiku semangat dalam berdagang bahkan anak saya bisa bersekolah karena beliau bersama temannya membantu saya.
Suami Ibu itu orangnya baik hati...saya pun tertawa mendengarnya cerita Istriku...Ummi jika kita tidak rasa empati pada orang yang sedang dalam kesusahan lantas siapa lagai yang akan membantunya, kita tidak bisa menutup mata atas penderitaan orang lain sebab mereka adalah bagian dari hidup kita, bukankah dia (Mama Rifa) itu juga ingin merasakan hidup yang berkecukupan sama dengan kita..bertenggang rasa kepada orang lain tidak akan mengurangi hakikat kita sebagai manusia tapi karena kita adalah manusia maka wajib hukumnya berempati pada yang lemah.
Orang miskin bukan untuk diperdebatkan melainkan disantuni, Sosok Mama Rifa dalam perjuangannya mempertahankan hidup merupakan catatan kecil bagi kita betapa desakan ekonomi terus mempertontonkan persaingan hidup yang makin kompleks boleh dikata kaum kaya modern versus kaum miskin, ibarat liga kemanusiaan yang tak pernah usai.
Fakta-fakta telah menutup rapat-rapat pintu kesalehan sosial seolah tidak lagi memberikan ruang orang-orang miskin seperti Mama Rifa untuk ikut menikmati sebagian hasil dari kompetisi itu, rasa empati, belas kasih hanya jadi penghias kalimat-kalimat Doa kemudian kita berbondong-bondong bersembunyi dibalik kata sabar, sementara Mama Rifa dan keranjang Kue-nya adalah simbol kesabarannya.
****Wassalam****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H