Bagi orang beriman kepada Tuhan Yang Maha Bijak, tujuan penciptaan memiliki hikmah alias tidak sia-sia. Manusia yang bersal dariNya tentu membawa pesan dalam kehadirannya di muka bumi ini. Baik secara individu maupun secara komunal atau bermasyarakat. Agar manusia mampu mencapai tujuan penciptaan, ia harus mengetahui pesan asal penciptaannya. Karena tidak setiap manusia mampu menerjemahkan pesan asal itu secara kongkrit, dengan kebijaksanaanNya, diutuslah sosok manusia Ilahi bernama nabi. Nabi ialah yang mampu membaca pesan Tuhannya secara jelas dan kongkit, sedemikian sehingga tidak mungkin keliru dalam menyampaikannya kepada manusia lainnya.
Di sisi lain, manusia cenderung berbuat sesuai dengan selera dan cara pandang masing-masing. Perbedaan selera dan pandangan, meskipun memiliki tujuan yang sama, tidak jarang menimbulkan konflik dan kekacauan. Perbedaan ini adalah wajar mengingat setiap manusia memiliki kebertingkatan dalam pemahaman dan keimanan. Jelas, konflik apalagi yang tidak produktif, menghambat langkah untuk mencapai tujuan penciptaan. Lalu bagaimana menganggulangi konflik kontra porduktif ini? Sebagian mengatakan berpijak pada akal. Karena akal berpijak pada nilai yang universal dan objektif.
Okay, diterima. Pertanyaan berikutnya, bagaimana konsep rasional yang universal itu diterjemahkan pada masalah yang membutuhkan langkah parsial, relatif, rigit dan detail? Contohnya, akal mencapai premis: berterima kasih pada yang memberi kita kebaikan adalah perbuatan yang sepatutnya dilakukan. Presmis kedua: Tuhan telah memberi kita (banyak) kebaikan. Kesimpulannya: kita sepatutnya berterima kasih padaNya. Pertanyaan selanjutnya lagi, bagaimana kita berterima kasih padaNya? Jika kita memiliki kewajiban padaNya, bagaimana menuaikan kewajiban itu? sebagian Muslim percaya, di sinilah di antara peran wahyu atau kenabian.
Semakin banyak fungsi kenabian yang diungkap, semakin jelas keharusan pembimbing atau kepemimpinan Ilahi dalam setiap masa di tengah-tengah masyarakat. Mengapa di setiap masa? Karena gerak masyarakat dari awal sejarahnya hingga akhir merupakan gerakan berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang tunggal. Sebagian ulama meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw sama seperti apa yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Yang membedakannya ialah porsi ajaran dan metodologi penyampainnya. Sebagai nabi penutup para nabi, porsi ajaran di masa Muhammad mencapai kesempurnaanya. Lalu bagaimana dengan masa setelah Muhammad?
Jika premis sebelumnya diyakini kebenarannya, maka keharusan kepemimpinan Ilahi tetap harus ada. Sehubungan dengan sempurnanya ajaran Islam, dan masih ‘panjangnya’ perjalanan masyarakat, sang ‘juru bicara’ Muhammad amat sangat dibutuhkan. Secara umum, ulama adalah pewaris para nabi, diterima di kalangan umat Islam. Secara khusus lagi, sebagian muslim percaya pada makam spritual ‘imamah’ sebagai kelanjutan dari ‘nubuwah’. Apapun itu, pengikut secara ideologis suatu ajaran disebut dengan ‘ummah’ atau ‘umat’.
Menurut KBBI, ‘umat’ berarti para penganut (pemeluk, pengikut) suatu agama. Berbeda dengan istilah ‘masyarakat’ yang umumnya terikat dengan suatu budaya. Adapun ‘bangsa’ terikat dengan keturunan, adat, bahasa, dan serajah. Komunitas dan paguyuban tidak berbeda jauh dengan masyarakat, namun yang kedua diinisiasi dengan lebih kekeluargaan dengan tujuan membina kerukunan dan persatuan di antara anggotanya. Satu-satunya yang begitu identik dengan ajaran ‘agama’ ialah umat.
Jika ditelisik ke pandangan dunia Islam, selain bersendi wahyu dan rasionalitas, ajaran yang dibawa Muhammad juga berbasis pada fitrah. Apa itu fitrah? Menurut KBBI, ia adalah sifat asal yang identik dengan kesucian. Di antara sifat bawaan itu ialah setiap manusia cenderung mencintai keadilan, kebaikan, keselamatan, kebahagiaan dan kesempurnaan. Asas fitrah dan rasionalitas ini menjadikan ajaran Islam menembus sekat-sekat geografis, masyarakat, bangsa, dan komunitas tertentu. Mungkin karena ini, Tuhan mewahyukan kepada Muhammad, “…dan kami jadikan kalian umat yang satu…”
Salah satu karakteristik umat ialah orang-orang yang terdiri dari polisi, tentara, dokter, guru, pedagang, ulama dll saling bekerjasama untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat mereka. Mengapa keadilan? Jawaban simple-nya, karena pada dasarnya setiap dari mereka mencintai keadilan. Lebih dari itu, keadilan adalah lawan dari ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi sebagaimana yang menjadi pandangan sehari-sehari saat ini. Lebih dari itu lagi, dengan keadilan setiap orang atau masyarakat akan bergerak lebih dekat dengan Sumber kesempurnaan, kekayaan, dan keabadian. Point lain dari karakteristik sebelumnya, ajaran suatu umat tidak menafikan keberadaan masyarakat yang berdiri di atas akar budaya. Bahkan semakin jauh capaian ke-islam-annya, semakin besar tanggungjawab sosial kemasyarakatannya.
Catatan lainnya dari karakteristik umat ialah pluralitas sebagai kekuatan gerak. Mungkin ini juga berlaku umum bagi komunitas, masyarakat atau organisasi. Kata pepatah, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Adanya persatuan karena adanya perbedaan atau keragaman. Di sisi lain persatuan tidak meleburkan (menghilangkan) keragaman (pluralitas). Setiap orang yang memiliki meyakini ajaran ini secara ideologis memilki latar belakang pendidikan, profesional dan pengalaman yang beragam. Mulai dari angkatan bersenjata hingga tukang sapu, dari filsuf hingga dokter hewan, dari kolomnis hingga pelukis. Semua keragaman ini merupakan kekuatan secara potensial untuk tegaknya tujuan; keadilan sosial (bagi seluruh rakyat Indonesia).
Di antara tugas para nabi ialah membimbing umatnya hingga mereka dapat menegakkan keadilan. Dr. Ali Shomali (penulis buku Relativisme Etika, London) menekankan, bahwa bukan nabi yang menegakkan keadilan, tapi umat-lah yang menegakkan keadilan dengan bimbingan nabi. Tidak heran jika salah satu karakteristik kepemimpinan para nabi ialah kultural alias “bottom – top”. Di antara kelebihan para nabi ialah mereka dapat menyampaikan ilmu tertinggi (wahyu) dengan bahasa kaumnya. Di bawah bimbingan dan kepemimpinan ala nabi ini, kekuatan yang belum teraktual dan tercerai berai di masyarakat dapat bergerak menuju persatuan (umat). Dan dengan modal persatuan, umat dapat bergerak secara efektif dalam menegakkan keadilan.
Catatan lebih lanjut, setiap orang yang berada dalam kesadaran ‘umat’, seharusnya mengesampikan arogansi dan egoismenya. Masih kata Dr. Ali Shomali, suatu kerjasama sulit terwujud meski dengan banyak orang jika setiap dari mereka arogan (merasa tinggi dari yang lain). Dan suatu kerjasama akan mudah terwujud karena sikap rendah hati meski dengan sedikit orang. Pentingnya sikap rendah hati dan bahayanya sikap arogan telah banyak diurai dalam ajaran yang dibawa para nabi ini.
Ajaran seperti ini mencerminkan bahwa para nabi memandang dimensi spritual (akhlak) dalam membangun umat tidak kalah pentingnya. Masih dalam kesadaran umat, sebagai orang yang tidak suci, tidak mengetahui ajaran secara memadai, dan berbagai keterbatasan lainnya, seyogyanya konsisten di atas batas minimal; tidak berhenti belajar dan rendah hati.
Adapun masalah kepemimpinan, jika diintip dari perjalanan para nabi, setidaknya pemimpin umat memiliki dua syarat. Pertama, pemahaman padangan dunia Islam yang benar. Kedua, kemampuan bertindak adil. Yang pertama menuntut pemimpin mampu menerjemahkan ideologi yang ‘rahmatan lil alamin’ itu untuk menjawab tantangan zamannya. Yang kedua, sebagai sandaran umat dalam bergerak, kualifikasi pemimpin haruslah tunduk pada kompetensi yang dibutuhkan. Kompetensi itu seperti keilmuan, keberanian, keimanan atau akhlak dll.
Masih yang kedua, selain mampu mem-break down ideologi secara epistemik, pemimpin dituntut mampu menerapkannya secara praktis dan terukur. Terukur berarti tidak berlebihan, adil atau dalam istilah populernya ‘moderat’. Pemimpin umat, dengan wawasan dan keadaan jiwa yang dicapainya, mampu bersikap adil terhadap lawan dan kawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H