Ajaran seperti ini mencerminkan bahwa para nabi memandang dimensi spritual (akhlak) dalam membangun umat tidak kalah pentingnya. Masih dalam kesadaran umat, sebagai orang yang tidak suci, Â tidak mengetahui ajaran secara memadai, dan berbagai keterbatasan lainnya, seyogyanya konsisten di atas batas minimal; tidak berhenti belajar dan rendah hati.
Adapun masalah kepemimpinan, jika diintip dari perjalanan para nabi, setidaknya pemimpin umat memiliki dua syarat. Pertama, pemahaman padangan dunia Islam yang benar. Kedua, kemampuan bertindak adil. Yang pertama menuntut pemimpin mampu menerjemahkan ideologi yang ‘rahmatan lil alamin’ itu untuk menjawab tantangan zamannya. Yang kedua, sebagai sandaran umat dalam bergerak, kualifikasi pemimpin haruslah tunduk pada kompetensi yang dibutuhkan. Kompetensi itu seperti keilmuan, keberanian, keimanan atau akhlak dll.
Masih yang kedua, selain mampu mem-break down ideologi secara epistemik, pemimpin dituntut mampu menerapkannya secara praktis dan terukur. Terukur berarti tidak berlebihan, adil atau dalam istilah populernya ‘moderat’. Pemimpin umat, dengan wawasan dan keadaan jiwa yang dicapainya, mampu bersikap adil terhadap lawan dan kawan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H