Slilit memang cuma istilah dan tidak terlalu penting sih. Tapi dari slilit, siapa pun bisa belajar. Tentang hal-hal dianggap kecil tapi berarti besar. Karena slilit, makan yang tadinya enak banget. Jadi terganggu, akibat ada makanan yang terselip di gigi. Nikmatnya jadi terganggu, jadi kurang sreg.
Seperti contoh kisah slilit ini. Saat seorang kaya gagal masuk surga. Bukan karena perbuatan maksiat. Tapi karena si orang kaya semasa hidup di daerahnya punya sumur air. Namun saat ada orang yang datang meminta air ke rumahnya tidak dikasih. Pelit sama air, hingga Allah melarangnya masuk surga.
Slilit memang sederhana. Akibat perbuatan kecil tapi bisa berdampak besar. Sia-sia kekayaan di dunia akibat pelit dan tidak mau bantu sesama. Kira-kira kisahnya, sama persis dengan kaum yang sibuk mencari harta dan berebut urusan dunia.Â
Tapi lupa membelanjakan di jalan Allah, lupa sedekah. Hingga akhirnya di akhir zaman nanti, hartanya tidak bisa jadi penolong amal perbuatannya sendiri. Katanya hidup di dunia sementara, lalu kenapa mengabaikan akhirat?
Slilit, slilit. Masih saja terjadi. Urusan tidak penting tapi diseriusin. Kewajiban yang tidak dijalankan tapi menuntut hak. Niatnya sudah baik tapi tidak dijalankan. Hanya berharap dapat pahala dari niat. Ada orang miskin di sebelahnya malah dinasehatin bukan dikasih makan. Apa orang miskin makan nasihat? Slilit memang ada dan nyata.
Di taman bacaan pun, ada slilit. Sudah mendirikan taman bacaan tapi tidak diurus dengan baik. Kadang-kadang buka, kadang tidak buka. Anak-anak yang mau membaca jadi bingung. Sudah punya anak-anak yang mau membaca tapi tidak dipelihara.Â
Hingga akhirnya anak-anak jadi malas membaca. Atau sudah bertahun-tahun, koleksi buku yang tersedia masih segitu-segitu saja. Tidak bertambah signifikan. Maka akhirnya, taman bacaan "kehilangan peran" untuk meningkatkan tradisi baca dan budaya literasi masyarakat.
Slilit di taman bacaan. Sejatinya, eksistensi taman bacaan hanya bisa bertahan atas tiga hal saja, yaitu 1) ada anak, 2) ada buku, dan 3) komitmen sepenuh hati pengelolanya. Bila 1 dari 3 itu terabaikan, maka bukan tidak mungkin, taman bacan jadi "mati suri". Sulit untuk bertahan dan anak-anak pun kehilangan tempat membacanya. Maka berjuanglah, untuk menghindari slilit di taman bacaan.
Slilit lagi. Entah kenapa, banyak orang hari ini berani memulai tapi takut untuk menuntaskannya? Banyak orang yang tahu sedikit tapi bicara banyak?Â
Belum tentu orang yang diceritakan salah tapi sudah dihakimi ramai-ramai. Slilit, memang terlalu mudah mengeluh, terlalu gampang menyalahkan. Tapi di saat yang sama lupa. Bahwa hidup juga perlu bersyukur dan menerima realitas yang terjadi. Kan apa yang terjadi pada manusia pasti atas kehendak-Nya? Otaknya slilit, sikapnya slilit, dan perilakunya pun slilit. Slilit.