Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Slilit Pegiat Literasi, Kenapa Dilarang Masuk Surga?

12 Januari 2022   18:53 Diperbarui: 12 Januari 2022   19:02 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Slilit memang cuma istilah dan tidak terlalu penting sih. Tapi dari slilit, siapa pun bisa belajar. Tentang hal-hal dianggap kecil tapi berarti besar. Karena slilit, makan yang tadinya enak banget. Jadi terganggu, akibat ada makanan yang terselip di gigi. Nikmatnya jadi terganggu, jadi kurang sreg.

Seperti contoh kisah slilit ini. Saat seorang kaya gagal masuk surga. Bukan karena perbuatan maksiat. Tapi karena si orang kaya semasa hidup di daerahnya punya sumur air. Namun saat ada orang yang datang meminta air ke rumahnya tidak dikasih. Pelit sama air, hingga Allah melarangnya masuk surga.

Slilit memang sederhana. Akibat perbuatan kecil tapi bisa berdampak besar. Sia-sia kekayaan di dunia akibat pelit dan tidak mau bantu sesama. Kira-kira kisahnya, sama persis dengan kaum yang sibuk mencari harta dan berebut urusan dunia. 

Tapi lupa membelanjakan di jalan Allah, lupa sedekah. Hingga akhirnya di akhir zaman nanti, hartanya tidak bisa jadi penolong amal perbuatannya sendiri. Katanya hidup di dunia sementara, lalu kenapa mengabaikan akhirat?

Slilit, slilit. Masih saja terjadi. Urusan tidak penting tapi diseriusin. Kewajiban yang tidak dijalankan tapi menuntut hak. Niatnya sudah baik tapi tidak dijalankan. Hanya berharap dapat pahala dari niat. Ada orang miskin di sebelahnya malah dinasehatin bukan dikasih makan. Apa orang miskin makan nasihat? Slilit memang ada dan nyata.

Di taman bacaan pun, ada slilit. Sudah mendirikan taman bacaan tapi tidak diurus dengan baik. Kadang-kadang buka, kadang tidak buka. Anak-anak yang mau membaca jadi bingung. Sudah punya anak-anak yang mau membaca tapi tidak dipelihara. 

Hingga akhirnya anak-anak jadi malas membaca. Atau sudah bertahun-tahun, koleksi buku yang tersedia masih segitu-segitu saja. Tidak bertambah signifikan. Maka akhirnya, taman bacaan "kehilangan peran" untuk meningkatkan tradisi baca dan budaya literasi masyarakat.

Slilit di taman bacaan. Sejatinya, eksistensi taman bacaan hanya bisa bertahan atas tiga hal saja, yaitu 1) ada anak, 2) ada buku, dan 3) komitmen sepenuh hati pengelolanya. Bila 1 dari 3 itu terabaikan, maka bukan tidak mungkin, taman bacan jadi "mati suri". Sulit untuk bertahan dan anak-anak pun kehilangan tempat membacanya. Maka berjuanglah, untuk menghindari slilit di taman bacaan.

Slilit lagi. Entah kenapa, banyak orang hari ini berani memulai tapi takut untuk menuntaskannya? Banyak orang yang tahu sedikit tapi bicara banyak? 

Belum tentu orang yang diceritakan salah tapi sudah dihakimi ramai-ramai. Slilit, memang terlalu mudah mengeluh, terlalu gampang menyalahkan. Tapi di saat yang sama lupa. Bahwa hidup juga perlu bersyukur dan menerima realitas yang terjadi. Kan apa yang terjadi pada manusia pasti atas kehendak-Nya? Otaknya slilit, sikapnya slilit, dan perilakunya pun slilit. Slilit.

 

Seperti di media sosial. Biar tekor asal kesohor. Orang-orang yang berjuang keras untuk meraih popularitas. Biar dianggap punya gaya hidup, semuanya dipertruhkan. Agar disebut orang keren dan mentereng. Tapi sayang, hanya di media sosial. Sebatas kamuflase saja. Senang pada sensasi, lupa pada prestasi dan substansi. 

Slilit di taman bacaan. Kian aneh saja bila tidak membaca buku. Saat ada kupu-kupu di rumah, dibilang akan ada tamu yang datang. Bila ada bunyi burung hantu, katanya akan ada orang yang meninggal dunia. Semuanya seperti slilit. Agama punya, iman ada tapi hidupnya mengandalkan logika. Terlalu percaya pada otak bukan hati.

Maka taman bacaan di mana pun, pegiat literasi siapa pun. Berjuanglah agar tidak ada slilit. Praktik yang bertolak belakang dengan cita-cita. Perilaku yang tidak sepadan dengan tujuan. Intinya, niat dan aksi nyata harus sama. Bila taman bacaan perbuatan baik, maka kerjakanlah. Bila pegiat literasi misi sosial yang mulia, maka lakukanlah sepenuh hati. Apapun keadaanya, tetaplah ikhtiar baik. 

 

Slilit hanya menegaskan. Tidak ada orang baik yang tidak punya masa lalu. Tidak ada orang jahat yang tidak punya masa depan. Maka hindari pujian atau cacian, tetaplah kerjakan perbuatan baik di mana pun, termasuk di taman bacaan. Jangan terbuai dengan masa lalu dan keadaan. Karena hari ini hanya dibutuhkan kesadaran dan kebijaksanaan. Untuk berbuat dan menebar manfaat kepada orang lain. 

 

Slilit di taman bacaan. Bahwa "ADA HAL KECIL DI DUNIA TAPI BESAR DI AKHIRAT". Jangan di balik, mengejar yang besar di dunia tapi kecil di akhirat. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun