Mungkin ke depan, manusia gila pengaruh akan kian marak.Â
Selaian egois dan individualis, mereka hidup dalam nafsu. Iya nafsu, yang ada di antara naluri dan akal sehat. Saat nafsu bersemayam, maka naluri hilang dan akal sehat pun bersembunyi. Maka ketika naluri dan akal bersinergi. Di situlah manusia tidak akan pernah istirahat dari kecemasan yang dia bangun sendiri. Selalu merasa tidak puas dan ingin berkuasa. Kekuasaan atas nama nafsu. Kekuasaan yang menipu.
Maka wajar. Untuk siapapun. Ketika nafsu berkuasa, maka tiap orang selalu melihat orang lain sebagai ancaman. Jangan ingin bermanfaat bagi orang lain. Tapi orang justru dilihat sebagai musuh.
Ketika gila pengaruh, maka akhirnya "gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan pun tampak". Alias kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang besar tidak tampak. Hingga akhirya "bagai balam dengan ketitiran", dia yang tidak bisa apa-apa, tapi yang disalahin orang lain. Akibat terlalu gila pengaruh. Bak "belum berkuku hendak mencubit". Kok bisa ya?
Hidup itu nasehat. Pepatah pun isinya nasehat atau wejangan. Agar siapa pun tetap berhati-hati. Agar tidak usah cemas apalagi khawatir sedikit pun. Atas apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain. Karena mereka, mungkin dalam keadaan tidak mengerjakan apapun. Gelisah atas gila pengaruhnya sendiri.
Maka tetaplah lakukan yang terbaik, kerjakan yang bermanfaat untuk orang lain. Khoirunnass anfa'uhum linnass. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.Â
Hari ini, memang tidak cukup punya pikiran bagus. Bila tidak mampu digunakan dengan baik. Salam literasi. #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI