Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jauhi Prasangka Buruk, Baik Bukan karena Kerasnya Membaca Kitab Suci

3 Februari 2021   08:36 Diperbarui: 3 Februari 2021   08:37 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Zaman boleh maju. Tapi sayang, prasangka pun makin marak. Tidak sedikit hari ini, orang yang hidup dalam prasangka. Apa saja disangka, siapapun sulit terbebas dari prasangka. Kok bisa?

Kata orang bahasa. Prasangka itu artinya pendapat atau anggapan yang kurang baik sebelum tahu kebenarannya. Argumen yang dilahirkan tapi tanpa bukti. 

Semua kata orang, semua kata obrolan di rumah-rumah atau di warung-warung kopi. Sekalipun boleh, prasangka buruk sebaiknya dijauhi. Soal apapun, untuk siapapun. Karena tidak ada manfaat, dan tidak produktif.

Prasangka itu sederhana.

Apa yang dilakukan orang lain salah. Semua yang diomong orang lain tidak disukai. Dan semua yang dikerjakan orang lain pun serba salah. Yang benar, hanya komentar dan pikiran "orang yang berprasangka" saja. Walau dia sendiri tidak pernah melakukannya. Hanya sebatas komentar dan obrolan. Alhasil, berapa banyak orang yang kini hidup dalam prasangka?

Zaman boleh makin maju. Ilmu pun makin tinggi. Status sosial makin keren. Pendidikan makin mentereng. Tapi sayang, di saat yang sama. Makin banyak pula orang yang menghabiskan sebagain besar waktunya untuk prasangka buruk. Terlalu geram berprasangkan.

Siapapun memang boleh tidak empati kepada orang lain. Tapi itu bukan berarti "halal" untuk berprasangka buruk. Apalagi menaruh prasangka terhadap kebaikan. Seperti aktivitas di taman bacaan. Hanya untuk menegakkan tradisi baca dan budaya literasi. Tapi masih saja ada prasangka di dalamnya. Maka jangankan manusia. Gelapnya mendung atau terangnya matahari pun tidak luput dari prasangka. 

Prasangka bisa jadi makin marak.

Karena tidak mampu ikut merasakan apa yang dialami orang lain. Kaum berprasangka hanya bisa melampiaskan perasannya sendiri. Hanya bisa membenarkan pikirannya sendiri. Hingga lupa, manusia sebagus apapun akhlaknya dan sehebat apapun akalnya. Sama sekali tidak berguna bila selalu direcoki oleh prasangka buruk.

Prasangka makin merajalela. Akibat tidak bisa lagi berpikir objektif. Gagal bersahabat dengan realitas. Membangun argumen untuk menyalahkan orang lain. Melampiasakan alasan untuk melegalisasi prasangka. 

Mereka berpikir hanya untuk mengatur ulang prasangka buruk. Hingga lupa, bahwa opini yang dibangun berdasar prasangka tanpa fakta. Adalah awal dari berakhirnya sebuah kebenaran.

Sungguh, tidak ada peradaban baik yang dibangun dari prasangka buruk. Di mana pun, pada siapa pun.  Karena peradaban baik bukan soal untung rugi. Bukan pula soal sepaham atau tidak sepaham. Peradaban baik itu hanya soal spirit, soal moralitas. Soal sikap yang mampu "dituangkan" ke secangkir perilaku.

Harus diakui, memang susah berpikir objektif. Memang sulit membuang prasangka buruk.

Tapi itu bukan berarti siapapun tidak boleh jadi orang baik. Karena orang baik, memang tidak harus sempurna di mata siapa pun. Tapi orang baik tidak boleh berhenti mencari cara untuk memperbaiki diri. Karena orang baik itu seperti senja. Tidak pernah berduka walau menunggu waktu untuk tenggelam. Tidak pernah berteriak dan meminta tolong walau hendak "menghilang".

Maka jauhi prasangka buruk. Mulailah berprasangka baik bila mau peradaban jadi baik. Karena prasangka baik bukan dilihat dari kerasnya kita membaca kitab suci. Tapi dari konsistennya kita menjalankan apa yang kita baca. 

Siapa pun, tidak perlu jadi presiden atau gubernur. Bahkan tidak usah pula jadi pahlwan. Tapi cukup jadi manusia yang siap "berperang" melawan prasangka buruk sekecil apapun. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #KampanyeLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun