5.Untuk alasan PHK, UU Cipta Kerja Pasal 154A menyebutkan (PHK) dapat dilakukan perusahaan atas 14 alasan. Tadinya ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK (UU Ketenagakerjaan) seperti: 1) bangkrut, 2) tutup karena merugi, 3) perubahan status perusahaan, 4) melanggar perjanjian kerja, 5) melakukan kesalahan berat, 6) memasuki usia pension, 7) mengundurkan diri, 8) meninggal dunia, dan 9) mangkir. Lalu UU Cipta Kerja menambah 5 alasan PHK lagi, yaitu: 10) efisiensi, 11) melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, 12) keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, 13) melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh, dan 14) mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan. Hal ini bisa jadi sumber "ketakutan" pekerja. Karena ada ruang PHK sepihak lebih besar dilakukan perusahaan. Maka PP harus mengatur dengan jelas dan pemerintah harus ekstra hati-hati memonitor PHK yang dilakukan perusahaan. Agar tidak semena-mena kepada pekerja.
6. Lalu apakah PHK akibat ke-14 alasan di atas, pekerja tidak mendapatkan uang pesangon? Sementara itu Pasal 167 UU Ketenagakerjaan yang mengaitkan program pensiun dengan pesangon nyata-nyata dihapus di UU Cipta Kerja. Maka jawabnya, lagi-lagi soal besaran kompensasi pesangon akibat PHK akan diatur dalam PP sesuai amanat Pasal 156 ayat (5) UU Cipta Kerja.
7.Jadi dapat disimpulkan, soal pesangon dan PHK di UU Cipta Kerja kata kuncinya terletak di Peraturan Pemerintah (PP) yang akan disusun dalam waktu dekat. Hal-hal teknis terkait tata cara PHK dan besaran kompensasi PHK akan dituangkan ke dalam PP dan harus dikawal ketat agar membuka ruang masukan publik untuk memberi masukan. Jangan sampai UU Cipta Kerja ini justru jadi masalah di kemudian hari.
8. Penting pula untuk disampaikan, seharusnya PP soal pesangon dan PHK sebagai turunan UU Cipta Kerja ini juga memuat aspirasi tentang program pensiun yang ada kaitannya dengan pesangon (seperti yang ada pada Pasal 167 UU Ketenagakerjaan).Â
PP perlu mempertimbangkan program pensiun sukarela yang sudah ada dan dimiliki perusahaan/pemberi kerja agar dapat dikompensasikan (offset) sebagai kewajiban pesangon untuk semua alasan PHK, bukan hanya usia pensiun".
9.Pesangon dan PHK adalah isu sensitif di pekerja/buruh. PP turunan UU Cipta Kerja harus merinci dengan optimal. Karena faktanya, saat besaran pesangon diatur 32,2 kali upah (sesuai UU Ketenagakerjaan) pun implementasinya hanya 7% perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai ketentuan yang berlaku.Â
Itu berarti, banyak perusahaan yang abai terhadap ketentuan atau regulasi. Maka wajar soal pesangon dan PHK seringkali membuat pekerja/buruh demonstrasi. Soal hak pekerja yang tidak dibayarkan.
10. Sementara pada naskah sosialisasi UU Cipta Kerja yang beredar versi Kemenaker dan DPR RI tercantum kalimat paling atas yang berbunyi "Pemerintah memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima oleh pekerja/buruh". Itu berarti, pemerintah berkomitmen untuk memastikan pembayaran pesangon kepada pekerja betul-betul sesuai aturan. Perusahaan tidak boleh abai terhadap pesangon yang menjadi hak pekerja saat melakukan PHK.
11. Maka selain penegakan hukum kepada perusahaan yang ketat, pemerintah melalui PP UU Cipta Kerja seharusnya mewajibkan "pendanaan pesangon" benar-benar dilakukan perusahaan/pemberi kerja.Â
Agar saat terjadi PHK, uang pesangon benar-benar tersedia. Karena selama ini, problem besar pesangon adalah soal ketersediaan dana, bukan di regulasi. Pendanaan pesangon wajib dilakukan perusahaan. Di mana didanakan dan bagaimana melaporkannya?
12. Pesangon adalah kewajiban perusahaan/pemberi kerja yang telah mempekerjakan pekerja. Maka saat PHK terjadi atau pensiun, uang pesangon pekerja harus tersedia dan siap dibayarkan.Â