Tiba-tiba ramai hari ini. Ribuan twit muncul dengan tagar Boikot TVRI - #BoikotTVRI. Entah apa yang terjadi dengan Lembaga penyiaran milik negara itu. Siapa pula yang menggerakkannya? Sementara rabu lalu (27/5/20), Dewas TVRI baru saja melantik Iman Btrotoseno sebagai Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (Dirut LPP TVRI) yang sebelumnya dijabat oleh Helmy Yahya.
Lalu kok, ramai tagar boikot TVRI. Kenapa dan ada apa dengan TVRI?
Ternyata selidik punya selidik. Sang Dirut baru, Iman Brotoseno, dianggap publik punya rekam jejak digital yang kurang pas. Apa pasalnya? Karena beliau pernah berkicau di twitter soal "bokep alias film porno sebagai pemersatu bangsa". Selain pernah menjadi kontributor majalah dewasa Playboy dan menjadi konsultan politik yang dekat dengan salah satu partai politik besar di negeri ini. Semua itu mencuat pasa pelantikannya, sehingga menimbulkan polemik. Maka muncullah trendin "tagar boikot TVRI".
Dari sini ada dua pelajaran berharga yang bisa dipetik. Satu, betapa jahatnya rekam jejak digital sesorang yang terpampang di media sosial. Karena itu, siapapun harus berhati-hari dalam berkomentar maupun berkicau di media sosial. Semua bisa ditelusuri dan menjadi "borok" yang kapanpun dapat diungkit kembali. Apalagi warganet atau netizen di negeri ini tergolong galak-galak.
Kedua, pemegang kekuasaan seperti Dewan Pengawas TVRI seharusnya memperhatikan beragam aspek sebagai kriteria untuk menunjuk Dirut TVRI yang baru. Utamanya bukan hanya soal performa, ilmu, pengalaman dan sebagainya. Tapi soal moral dan akhlak harus jadi kriteria utama. Sehingga tidak menimbulkan polemik dan kegaduhan yang sebenarnya tidak perlu.
Agak disayangkan. Bila baru ditunjuk dan belum bekerja apa-apa sudah menimbulkan polemik. Sehingga menganggu spirit untuk memajukan kinerja TVRI dari kondisi yang sebelumnya. Bahkan tidak mungkin, dampaknya bisa menurunkan kepercayaan publik. Bukan hanya kepada individu Dirut TVRI melainkan juga kepada TVRI sebagai institusi. Maka, di sinilah pentingnya kehati-hatian, baik dalam urusan personal di media sosial maupun pemegang kekuasaan dalam menyeleksi jabatan publik.
Sementara memang harus ada yang dikoreksi dari warganet atau netizen. Kenapa rekam jejak masa lalu seseorang yang berupa kicauan di media sosial dijadikan "alat tembak" untuk memboikot TVRI. Bukankah seseorang pasti punya track record masa lalu. Dan itupun belum tentu tidak baik, apalagi hanya kicauan di media sosial. Jika pun begitu, kenapa yang diboikot institusi? Bukan individu-nya? Dalam konteks ini, maka ruang dialog harus dibuka seluas-luasnya. Agar ada kesempatan semua pihak untuk mengklarifikasi, sekaligus meluruskan hal yang dipersoalkan. Mana yang perlu diingatkan, mana yang harus direkomendasikan. Begitulah seharusnya.
Apa poin yag mau saya sampaikan melalui tulisan ini?
Saya tidak punya kepentingan kepada TVRI. Karena saya pun jarang menonton siarannya. Tapi saya tertarik sekaligus terpancing untuk menuliskannya. Bahwa di negeri ini, seringkali menempatkan seseorang pada jabatan publik tanpa memperhitungkan rekam jejak dari berbagai aspek. Utamanya soal akhlak. Sementara pendidikan karakter sedang digencarkan. Tapi justri pemegang kekuasaan seringkali mengabaikan soal akhlak dalam memilih pejabat. Teramsuk akhlak dalam mekanisme seleksi dan pemilihannya. Ujug-ujug di masa Covid-19, dilantik saja. Apa iya harus begitu?
Dimensi akhlak ini harusnya jadi rujukan.