Hari ini, makin banyak orang yang sulit menerima keadaan. Obsesinya tinggi, lalu daya tolaknya kuat. Gagal menerima realitas. Ogah nrimo, begitulah kira-kira bahasa orang kampungnya.
Nrimo, sikap dan perilaku yang kian langka. Apalagi bila dicampur-aduk dengan logika dan emosi, sungguh makin sulit diterima.
Virus corona itu ada dan mematikan, harus nrimo. Bahwa Monas harus direvitalisasi, kadang harus nrimo. Bahwa WNI eks ISIS mau pulang terus ditolak pun harus nrimo. Lha wong Walikota Surabaya pun nrimo diminta maaf oleh perempuan yang menghinanya, sekalipun tidak dikenalnya. Nrimo alias menerima.
Karena semua yang terjadi tergantung pada niatnya masing-masing. Dan mereka sendiri yang akan tanggung akibatnya bila salah niat. Saya percaya itu. Karena tidak ada perbuatan sekecil apapun yang tidak ada akibatnya. Positif atau negatif, baik atau buruk; pasti sesuatu dengan niatnya.
Sikap "nrimo". Artinya "menerima" realitas atau kenyataan. Karena harapan kadang berbeda dengan kenyataan. Nrimo, karena tidak semua yang kita pikir baik, itu baik juga buat orang lain. Bahkan dalam banyak sisi kehidupan, siapapun perlu lebih nrimo, lebih legowo.
Bila ada yang belum atau tidak "nrimo". Bisa jadi, mereka sedang hidup dalam harapan dan mimpinya. Sulit menerima kenyataan. Karena nrimo hanya dimiliki mereka yang berjiwa besar. Jadi nrimo, level psikologisnya sangat tinggi. Tidak semua orang bisa "nrimo".
Filosofi nrimo, filsafat tentang menerima.
Nrimo itu ya menerima. Menerima apa yang sudah dianugerahkan-Nya. Nrimo bila Presiden terpilihnya seperti itu. Nrimo Gubernur DKI yang lebih gemar retorika. Nrimo bila kawan kita seperti itu. Dan akhirnya, nrimo bahwa bila tidak mampu sama pun tidak perlu dilarang beda.
Termasuk nrimo, bila ada orang yang kerjanya menulis. Lalu ada pula yang kerjanya nyeletuk sedikit-sedikit bak nenek-nenek lagi nginang. Kita nrimo saja.
Nrimo apa ya yang harus diterima?
Tentu, apa saja nrimo. Bersedia menerima realitas daripada memperkuat daya tolak. Agar energi tidak habis untuk hal-hal yang negatif, apalagi memupuk kebencian yang tidak pernah berakhir.
Zaman now, kadang aneh. Sekolah makin tinggi tapi makin tidak bisa nrimo. Status sosial makin tinggi tapi makin gebyah uyah sulit menerima. Beda pendapat tidak boleh, beda sudut pandang dimusuhi. Aneh, orang-orang yang sulit nrimo.
Katanya percaya, hidup manusia itu sudah ada yang atur. Tapi kenapa tidak menrima kenyataan. Hidupnya sendiri sulit diterima, apalagi hidup orang lain. Manusia suka lupa. Asal sudah ikhtiar dan doa, apalagi tugasnya selain "nrimo", menerima dengan lapang dada.
Nrimo itu bukan kepasrahan.
Karena nrimo itu harus didahului ikhtiar. Usaha dulu. Apapun hasilnya baru nrimo, dengan penuh rasa syukur. Kalau kata Bahasa Jawa, nrimo ing pandum; menerima dengan legowo. Sikap berserah diri terhadap apa yang dianugerahkan Allah. Soal apapun, untuk apapun.
Nrimo, seperti cerita tetangga saya. Ia baru saja kehilangan kedua anaknya. Anak pertamanya, meninggal dunia. Akibat sakit yang tidak diketahui sebelumnya. Selang setahun kemudian. Anak keduanya pun dipanggil Illahi karena tertabrak di jalan saat sedang bermain. Sedih banget. Tapi, tetangga saya tetap tegar dan mampu menutupi rasa dukanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Nrimo sekali. Lapang dada dan menerima kenyataan. Tanpa perlu menyalahkan yang menabrak, apalagi menyalahkan Tuhan.
Saat saya ucapkan ikut berduka cita, lalu ia menjawab, "Terima kasih Pak. Anak saya cuma titipan Allah. Kalau diambil sama yang nitip, ya gak apa-apa. Saya nrimo".
Sungguh buat saya, itu kata-kata yang luar biasa dari mulut seorang ayah. Saya salut dan selalu berdoa yang terbaik untuknya.
Jadi, nrimo itu bukan pasrah.
Tapi ada usaha dan ikhtiar keras. Jaga dan mendidik anak. Belajar dan kuliah lagi. Dan hasilnya biarkan Allah yang menentukan, bukan kita. Karena hidup, bukan atas maunya kita bukan pengennya kita. Tapi atas kehendak-Nya.
Nrimo hari ini penting.
Karena tanpa sikap nrimo, sulit bergaul dengan realitas. Bahkan sulit untuk berbuat baik kepada orang lain. Akhirnya, kebaikan hanya jadi bahan diskusi. Tanpa perlu dieksekusi dengan nyata. Karena sulit nrimo. Sehingga hidupnya justru ingin seperti orang lain. Bukan jadi dirinya sendiri.
Jadi, nrimo-lah. Apapun terima.
Karena anugerah yang dicari itu adanya bukan di seberang sana, bukan di orang lain. Tapi ada dalam diri sendiri. Tidak perlu memaksa yang tidak penting. Apalagi memaksa kehendak pada orang lain.
Agar kita tidak lupa. Bahwa dari sekian banyak pikiran dan rencana hebat. Pada akhirnya, pilihan terbaik adalah sikap nrimo, menerima apapun yang ada di hadapan kita.
Lebih baik nrimo daripada nelongso #BudayaLiterasi #TGS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H