Nrimo, seperti cerita tetangga saya. Ia baru saja kehilangan kedua anaknya. Anak pertamanya, meninggal dunia. Akibat sakit yang tidak diketahui sebelumnya. Selang setahun kemudian. Anak keduanya pun dipanggil Illahi karena tertabrak di jalan saat sedang bermain. Sedih banget. Tapi, tetangga saya tetap tegar dan mampu menutupi rasa dukanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Nrimo sekali. Lapang dada dan menerima kenyataan. Tanpa perlu menyalahkan yang menabrak, apalagi menyalahkan Tuhan.
Saat saya ucapkan ikut berduka cita, lalu ia menjawab, "Terima kasih Pak. Anak saya cuma titipan Allah. Kalau diambil sama yang nitip, ya gak apa-apa. Saya nrimo".
Sungguh buat saya, itu kata-kata yang luar biasa dari mulut seorang ayah. Saya salut dan selalu berdoa yang terbaik untuknya.
Jadi, nrimo itu bukan pasrah.
Tapi ada usaha dan ikhtiar keras. Jaga dan mendidik anak. Belajar dan kuliah lagi. Dan hasilnya biarkan Allah yang menentukan, bukan kita. Karena hidup, bukan atas maunya kita bukan pengennya kita. Tapi atas kehendak-Nya.
Nrimo hari ini penting.
Karena tanpa sikap nrimo, sulit bergaul dengan realitas. Bahkan sulit untuk berbuat baik kepada orang lain. Akhirnya, kebaikan hanya jadi bahan diskusi. Tanpa perlu dieksekusi dengan nyata. Karena sulit nrimo. Sehingga hidupnya justru ingin seperti orang lain. Bukan jadi dirinya sendiri.
Jadi, nrimo-lah. Apapun terima.
Karena anugerah yang dicari itu adanya bukan di seberang sana, bukan di orang lain. Tapi ada dalam diri sendiri. Tidak perlu memaksa yang tidak penting. Apalagi memaksa kehendak pada orang lain.
Agar kita tidak lupa. Bahwa dari sekian banyak pikiran dan rencana hebat. Pada akhirnya, pilihan terbaik adalah sikap nrimo, menerima apapun yang ada di hadapan kita.
Lebih baik nrimo daripada nelongso #BudayaLiterasi #TGS