Dengarkan...
Orang zaman now itu aneh. Duduknya pada berdekatan tapi tidak ada yang bicara. Semuanya main gawai. Sekalipun ada yang lagi bicara, tetap saja asyik dengan gawai. Lalu katanya, sambil mendengarkan. Orang-orang yang sibuk sendiri. Tapi buru-buru berucap "sambil mendengarkan". Tapi anehnya, setelah itu omongan orang minta diulang. Tidak mau mendengarkan, tapi minta ulang omongan orang. Gagal mendengar, bukan gagal bayar.
Dengarkan, soal itu baru soal sederhana.
Banjir Jakarta kemarin, bisa jadi karena banyak pejabat atau masyarakat yang gagal mendengar. Sehingga tidak ada upaya yang dilakukan untuk antisipasi. Agar banjir tidak berdampak parah seperti kemarin. Berapa banyak kerugian materil akibat banjir. Sungguh, karena kita gagal mendengar. Terlalu egois untuk tidak mau menerima omongan atau nasehat orang lain.
Gagal mendengar.
Bisa jadi kasus "gagal bayar" yang melilit Jiwasraya pun akibat "gagal mendengar". Menempatkan investasi di saham gorengan pada manajer investasi yang tidak berkualitas. Seharusnya, pasti ada yang menasehati sebelum mengambil keputusan. Tapi bila sudah "kongkalikong", apa mau dikata? Semuanya gagal mendengar. Mungkin gagal mendengar itu pula yang dialami ASABRI.
Cobalah dengarkan.
Memang tidak mudah. Untuk mendengarkan orang lain; menerima obrolan orang lain. Apalagi orang yang derajat dan status sosialnya dianggap lebih rendah dari kita. Orang kota pasti malas mendengarkan orang desa. Orang pintar malas mendengarkan orang bodoh. Orang kaya pun paling malas mendengarkan orang miskin. Itulah  realitas zaman now. Tidak mau lagi mendengarkan. Pintar, kaya, dan modern tapi budaya literasinya rendah.
Dengarkanlah.
Mendengarkan itu berbeda dengan mendengar. Karena saat mendengarkan, kita butuh perhatian dan kesediaan untuk menerima apa yang dikatakan orang lain. Ada kerelaan psikologis saat mendengarkan. Sedangakan mendengar belum tentu mendengarkan. Karena mendengar seringkali hanya basa-basi, tidak ada kesungguhan. Mendengarkan pasti ada kesengajaan, tapi mendengar belum tentu sengaja. Kenapa bisa begitu? Mungkin, karena yang bicara dianggap "lebih rendah" status sosialnya dari kita.
Manusia sering lupa.
Sepintar dan secerdas apa pun orang yang pernah kita lihat, tentu ia punya kekurangan yang kita tidak ketahui. Sebaliknya, "sebodoh" apa pun orang yang pernah kita kenal, percayalah bahwa ia pun punya kelebihan yang mungkin kita tidak tahu dan tidak dipunyai oleh orang lain. Maka dengarkanlah.
Dengarkan.
Siapapun dia. Orang "bawah" sekalipun. Justru bisa jadi memberi pelajaran buat kita. Nasehat kebaikan itu bisa dating dari siapapun. Tanpa memandang kasta sosial, tingkat pendidikan, apalagi pangkat dan jabatan. Makanya ada pepatah "kita disuruh menengok ke bawah untuk urusan dunia". Itu artinya, kita perlu banyak mendengar dan melihat dari orang kecil atau bawah sekalipun. Sekaligus belajar untuk tidak meremehkan nikmat Allah SWT. Agar tidak mudah mengeluh, apalagi menyalahkan orang lain.
Dengarkan saja. Agar waktu kita jangan digunakan untuk mengurus hal-hal yang tidak penting.Â
Hidup di dunia itu hanya sebentar. Maka manfaatkan untuk mendengar dan membaca segala hal yang baik dan berharga. Asal hari-hati, jangan dengarkan kata orang yang negatif melulu. Sama sekali tidak perlu mendengarkan mereka yang hanya bikin pusing dan hidupnya bermasalah terus-menerus. Dengarkan saja suara hati dan bergeraklah untuk berbuat yang baik, yang bermanfaat untuk orang lain.
Dengarkan.
Seringkali di zaman now. Bahwa segala sesuatu yang kita dengar adalah pendapat, bukan fakta. Segala sesuatu yang kita lihat adalah perspektif, bukan kebenaran.
Dengarkanlah.
Bahwa semua manusia itu bermartabat di hadapan Allah. Karena martabat manusia adalah anugerah-Nya. Martabat itu tidak ada urusan sama pangkat, jabatan apalagi harta. Maka kembalilah, untuk tetap mendengarkan. Karena sesungguhnya, ketika kita mendengarkan maka di situ kita sedang memotret kehendak Allah untuk kita.
Dengarkanlah, jangan pernah mau menua untuk hal yang tidak penting ... #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H