Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banjir, Kenapa Harus Marah?

5 Januari 2020   08:40 Diperbarui: 5 Januari 2020   08:57 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banjir Jabodetabek bukan hanya sebab duka. Tapi memanggil kemarahan segelintir orang. Bersilang pendapat. Marah tentang cara atasi banjir. Sementara rakyat korban banjir pun marah, akibat lambatnya evakuasi. Lamanya bantuan darurat. Banjir air berubah jadi banjir marah. Marah, bisa jadi dianggap jadi solusi. Marah menyelesaikan masalah, apa ada?

Secara Bahasa, marah itu kata sifat. Marah berarti "sangat tidak senang", berang atau gusar. Lalu berubah jadi kata kerja jika diulang jadi "marah-marah", gemar marah. Kerjanya memarahi, senang bermusuhan. Maka mulutnya hanya "berbantahan". Dan akhirnya saling "marahan". Nah, itulah kaum para pemarah; marah yang jadi sebab kemarahan akut.

Kenapa harus marah?

Sungguh, marah itu sama dengan cinta. Hanya lahir dari hal-hal yang kecil saja. Marah yang berkobar menjadi kemarahan, lalu bermuara di kebencian. Kaum pemarah gemar marah-marah. Banjir marah, hujan marah, kemarau marah. Bahkan dikasih presiden terpilih pun marah. Gubernur pun dimarahi.

Marah lalu marah-marah. Hidupnya sehari-hari dekat dengan kemarahan. Kemudian berubah menjadi kebencian. Hingga ujungnya, mencari-cari kesalahan orang lain. Menyebut dirinya baik, sementara orang lain tidak. Marah-marah dianggap sehat, sungguh itu sakit.

Sifat marah yang berubah jadi kebiasaan. Begitu terus dan tidak bisa diredam sedikitpun. Kaum pemarah, seratus persen akhirnya bersahut-sahutan. Berbantah-bantahan. Hingga lupa, apa yang harus dilakukan? Marah yang tidak disadari saat dimulai dan lupa diakhiri.

Kenapa harus marah?

Adalah Nabi Muhammad SAW, manusia yang tidak pernah sakit seumur hidupnya. Sungguh, itu karena beliau tidak pernah marah. Logikanya sederhana. Berarti sakit karena ada marah. Sehat berarti tidak ada marah. Kaum pemarah, mereka yang gagal mengelola kemarahan; gagal mengendalikan amarah. Miskin jiwa besar, fakir hati lapang.

Kaum pemarah pasti menyanggah ini. Karena marah dianggap manusiawi. Atau buru-buru bilang, "kayak elo gak pernah marah aja". Bahkan bisa jadi, tulisan ini menjadi sebab marah dan kemarahan. Sah-sah saja.

Urusan marah, siapapun bisa, Karena marah hanya mengenal 4 (emapt) tipe manusia. Orang-orang yang 1) cepat marah lambat reda. 2) cepat marah cepat reda, 3) lambat marah lambat reda, dan 4) yang paling bagus itu "lambat marah cepat reda". Terserah, kita mau ada di mana? Pilih saja sendiri, jangan pilih pemimpin yang tidak disukai.

Memang, tidak ada yang "melarang" untuk marah. Siapapun dilarang melarang orang marah. Apalagi tidak pernah kasih makan. Untuk apa marah? Tapi ketahuilah, marah pun bisa dibuat efisien. Artinya, cukup sekali saja nyatakan apa yang bikin marah. Marah jangan diulang-ulang. Tiap hari tiap posting hanya kemarahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun