Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Tanah Leluhur, Aku Belajar "Siri'Na Pacce"

24 Desember 2019   21:07 Diperbarui: 30 Desember 2019   05:01 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu malam. Saat ngobrol bersama ayahku (maaf ibuku telah tiada) di rumah, ia berbagi tentang sebuat tradisi Bugis-Makassar. Yaitu budaya "siri", sebuah nilai yang dianut dalam tatanan sosial masyarakat keturunan Bugis-Makassar.

Kata "siri" dapat diartikan "malu" dalam bahasa Indonesia. Namun tidak sesederhana itu, karena "siri" melekat erat pada "harga diri seseorang". Maka "malu" bila terlibat urusan yang bisa merendahkan harga diri.

Ayahku, Ambo Lotang Yunus, kini berusia 74 tahun. Ia yatim piatu sejak kecil. Bahkan kini pun, hanya sendiri karena kakaknya Ambo Daeng Yunus telah meninggal dunia tahun ini. Namun aku beruntung sekali. Karena masih bisa ngobrol dan bertanya tentang budaya tanah leluhurku.

Ayahku lahir di Dusun Watang Bengo, Desa Limapoocoe, Kecamatan Cenrana (d/h Camba) Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Aku sendiri dilahirkan di Jakarta. Dan karena itu, aku pun sedikit mencari tahu dan belajar tentang tradisi dan budaya yang layak dijunjung tinggi dari tanah leluhurku.

Dari beberapa kali berkunjung ke tanah leluhurku, aku sedikit menyimpulkan, bahwa tanah leluhurku bisa disebut kampung yang mengasyikkan lagi penuh harmoni.

Maklum, Desa Limapoccoe tergolong desa swasembada dalam hal pertanian, khususnya padi atau beras. Udaranya bersih dan daerahnya perbukitan dengan nuansa batu karst daratan. Satu yang aku ingat, di tanah leluhur Desa Limapoccoe masih berlaku hari pasar, satu hari dalam seminggu saja.

Desa Limapoccoe, seperti masyarakat desa pada umumnya, keseharian aktivitas mereka adalah bekerja di persawahan, perkebunan, hingga pegawai di pemerintahan atau sekolah.

Sehingga bila sore hari mereka sudah bisa berkumpul bersama keluarga, senda gurau sambil tetap menjunjung tinggi adat istiadat, dan nilai-nilai budaya lokal. Tentu, berbeda dengan kota besar, yang masyarakatnya super sibuk.

Nah suatu kali, ayahku bercerita tentang budaya "Siri'Na Pacce". Secara asal usul kata, "siri" berarti malu (yang terkait harga diri). Sedangkan "pacce" berarti kokoh (dalam hal pendirian).

Jadi, "siri'na pace" dapat diartikan sebuah budaya menjaga kehormatan dan memegang prinsip hidup.

Ini sebuah kecerdasan emosional yang sangat di perlukan di masyarakat era digital atau millennial seperti sekarang. Karena dengan menjaga kehormatan dan memegang prinsip hidup, seharusnya mudah tercipta masyarakat penuh solidaritas dan rasa empati.

Maka budaya "Siri'Na Pacce" menjadi nilai sosial yang memiliki level tinggi. Karena untuk mencapainya dibutuhkan nilai-nilai karakter yang kokoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun