Banyak orang kaget. Ketika laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 merilis peringkat membaca, matematika, dan sains Indonesia menurun alias jeblok. Skor kemampuan membaca, matematika, dan sains Indonesia hanya berada di urutan ke-72 dari 78 negara.
PISA 2018 yang diselenggarakan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menyebutkan skor kemampuan membaca Indoensia turun dari 397 poin ke 371 poin; matematika turun dari 386 poin ke 379 poin; namun sains turun dari 403 poin ke 396 poin.
Suka tidak suka, menurunnya nilai pengukuran PISA 2018 harus jadi cambuk untuk meningkatkan kemampuan membaca, matematika, dan sains anak-anak Indonesia. Bila perlu, dapat menjadi acuan untuk membenahi orientasi kebijakan politik pendidikan dan praktik pedagogi proses belajar mengajar selama ini.
Khusus untuk kemampuan membaca, survei PISA 2018 bisa jadi cerminan rendahnya tradisi baca orang Indonesia. Karena faktanya, orang Indonesia hanya memiliki durasi waktu membaca per hari rata-rata hanya 30-59 menit, kurang dari sejam.
Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Itu hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017. Kondisi itu, tentu jauh di bawah standar UNESCO yang meminta agar waktu membaca tiap orang 4-6 jam per hari.
Itulah salah satu bukti budaya literasi dan tradisi baca di Indonesia masih sangat rendah. Angka membaca Indonesia sangat jauh tertinggal. Sementara masyarakat di negara maju rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari.
Anehnya, orang Indonesia membaca tidak lebih dari 1 jam sehari. Namun, mampu menghabiskan waktu 5,5 jam sehari untuk bermain gawai atau gadget.
Teknologi boleh makin maju. Tapi itu semua tidak menjamin budaya literasi di Indonesia makin baik. Orang makin kaya belum tentu makin peduli pada budaya literasi. Bahkan tidak sediki hari ini orang pintar yang meninggalkan kegiatan literasi.
Katanya era digital, era revolusi industri 4.0, tapi faktanya, justru banyak orang makin malas membaca, makin malas menulis. Maka wajar, budaya literasi makin dikebiri. Bahkan hari ini, budaya literasi dianggap cukup diseminarkan tanpa perlu aksi nyata.
Budaya literasi itu budaya membaca dan menulis. Masyarakat yang lebih gemar membaca dan menulis daripada berceloteh di media sosial atau menonton TV. Agak sulit menjadikan budaya literasi sebagai gaya hidup. Karena banyak orang hari ini, lebih senang budaya milenial, budaya serba instan, dan budaya gaya hidup.
Taman bacaan harus mampu menjadi ujung tombak untuk mengkampanyekan budaya literasi di anak-anak dan masyarakat. Bahwa membaca sesuatu yang penting. Untuk menggali informasi dan pengetahuan, bahkan menjadi tempat pemberdayaan masyarakat berbasis literasi. Apalagi di tengah gempuran era digital yang kian tak terbendung.
"Budaya literasi di Indonesia makin ke sini makin memprihatinkan. Untuk itu, taman bacaan masyarakat harus bisa jadi ujung tombak untuk menghidupkan tradisi baca dan tulis. Jangan biarkan dunia gawai atau dunia maya mengendalikan hidup anak-anak Indonesia," ujar Syarifudin Yunus, pegiat literasi sekaligus Pendiri TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.
Berangkat dari realitas budaya literasi yang memprihatinkan itulah, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka yang berlokasi di Desa Sukaluyu Kaki Gunung Salak Bogor mengimbau dan mengampanyekan "anak peduli baca". Agar tiap anak menyediakan waktu untuk membaca setiap hari.
Minimal 1 jam sehari atau 1 buku dalam seminggu; baik di rumah maupun di sekolah. Agar anak-anak mau lebih dekat dengan buku bacaan.
Patut diketahui, TBM Lentera Pustaka saat ini telah menjadi tempat membaca bagi 60-an anak pembaca aktif. Dengan jam baca 3 kali seminggu, rata-rata setiap anak membaca 5-10 buku per minggu.
Dengan koleksi lebih dari 3.400 buku, TBM Lentera Pustaka ingin mengubah "mindset" agar anak-anak agar mau membaca dan selalu dekat dengan buku.
Budaya literasi, tentu tidak boleh kalah dari gaya hidup modern yang serba instan, bergantung pada gawai atau gadget. Karena masa depan bangsa Indonesia bukan terletak pada pengguna gawai. Tapi ada dan melekat pada anak-anak, generasi muda yang mau membaca dan menulis. Anak-anak yang dekat dengan buku.
"Budaya literasi kini semakin tersingkir. Inilah momentum semua pihak untuk turun tangan menghidupkan kembali budaya membaca dan menulis di kalangan anak-anak kita. Jika tidak, anak-anak itu akan terlindas zaman," tambah Syarifudin Yunus yang saat ini tengah menekuni disertasi S3 tentang taman bacaan.
Maka ke depan, tradisi baca dan budaya literasi harus jadi perhatian semua pihak. Agar anak-anak Indonesia tetap mau membaca. Karena bagaimana mungkin bangsa Indonesia bisa maju, bila membaca kurang dari 1 jam sehari? #BudayaLiterasi #TradisiBaca #TBMLenteraPustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H