Urusan pendidikan, masyarakat harus merasa memiliki, pemerintah harus memfasilitasi, dunia bisnis harus peduli, pendidik dan anak didik harus menyadari makna pendidikan yang hakiki.
Revitalisasi Proses PendidikanÂ
Pendidikan 4.0 sama sekali tidak bisa dilihat sekadar "program". Bukan pula kegiatan dan tanggung jawab yang terbatas pada para pelaksana pendidikan. Pendidikan 4.0 adalah gerakan yang dilandasi ownership terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Demi masa depan pendidikan. Maka semua pihak, harus mau dan bersedia menjadi bagian dari ikhtiar untuk menyelesaikan problematika pendidikan di Indonesia.
Pendidikan 4.0 pun harus mampu mengemas upaya pencerdasan dan penumbuhan generasi berkarakter, berkepribadian. Ikhtiar mengembalikan kesadaran tentang pentingnya pendidikan karakter menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat. Agar tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab dapat diwujudkan.
Era pendidikan 4.0 intinya mengajak kita untuk melakukan instrospeksi diri, mengukur apa yang sudah benar dan apa yang masih salah dalam proses pendidikan selama ini. Era pendidikan 4.0, mau tidak mau, mendesak dunia pendidikan untuk berpikir ulang dan merevitalisasi pendidikan yang bertumpu pada:
Pertama, revitalisasi sekolah sebagai sentra pendidikan yang mandiri dan berkarakter. Sekolah seharusnya menjadi penentu arah pembelajaran yang berbasis proses dan rasa cinta. Agar siswa menjadi pribadi yang mandiri dan berkarakter. Sekolah bukan pelaksana kurikulum. Sekolah harus mampu menjadi basis pengembangan budaya dan karakter siswa.
Kedua, guru sebagai fasilitator pembelajaran. Guru harus mampu mengendalikan konten dan arah pembelajaran yang jelas, di samping menjadikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Guru harus memiliki kreativitas dan keberanian untuk menuntun siswa dalam menemukan pelajaran dan bidang yang disenanginya.
Ketiga, kesetaraan sebagai orientasi pendidikan, bukan kesempurnaan. Praktik dan perilaku belajar harus didorong untuk membangun kesetaraan, bukan kesempurnaan. Orientasi pendidikan adalah membangun kerjasama, bukan kompetisi antarsiswa. Belajar bukan sarana untuk mencapai nilai tinggi, melainkan untuk membangkitkan kegairahan siswa dalam belajar. Kegiatan belajar bukan bergantung pada "kunci jawaban", tetapi bertumpu pada "pengertian".
Keempat, siswa berpegang pada proses dalam belajar, bukan hasil belajar. Proses agar siswa berani bertanya dan tidak takut salah. Karena dengan cara itu, siswa akan mampu mengeksplorasi potensi diri, di samping dapat memacu kreativitas dalam belajar. Hasil belajar bukan satu-satunya indikator keberhasilan siswa dalam belajar.
Kelima, pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif. Adanya kesadaran akan makna pendidikan dan upaya bersama menyelesaikan problematika pendidikan. Semua elemen masyarakat harus terlibat dalam proses dan dinamika pendidikan. Karena pendidikan bukan program melainkan gerakan moral bersama untuk memajukan harkat dan martabat manusia sekaligus bangsanya.