Bisa kaget bisa tidak. Saat Nadiem Makarim ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Mau dibawa kemana pendidikan Indonesia di bawah arahan mantan bos Gojek itu? Mungkinkah, inovasi spektakuler yang digenggam Nadiem mampu mengangkat kualitas dan prestasi pendidikan di Indonesia?Apalagi di tengah gencatan era revolusi industri 4.0 yang sulit dielakkan.
Sementara di sisi lain, dunia pendidikan terus-menerus dirundung kekhawatiran. Bila tidak mau disebut memprihatinkan. Belum lama, seorang guru SMK Ichtus di Manado tewas akibat tikaman siswanya. Akibat ditegur saat merokok. Anggaran pendidikan yang 20% pun belum mampu mengangkat kualitas pendidikan anak-anak bangsa. Â Cara-cara guru mengajar pun belum banyak berubah. Maka wajar, kurikulum dan sistem belajar pun seperti "jauh panggang dari api", masih belum sesuai harapan. Maka patut diduga, dunia pendidikan seakan belum mempersiapkan "mind set" dan orientasi konkret dalam mengantisipasi era revolusi industri 4.0. Dapat disinyalir, dunia pendidikan di Indonesia masih terkekang oleh sistem yang belum mampu menampung perubahan sesuai tuntutan revolusi industri.
Sementara era revolusi industri 4.0 kini bukan lagi isapan jempol. Bahkan tidak bisa lagi dijawab melalui kegiatan seminar atau diskusi. Butuh aksi nyata untuk menyeimbangkan dinamika revolusi industri generasi ke-empat yang berbasis teknologi informasi dengan praktik pendidikan di lapangan. Pendidikan harus mampu menjawab tantangan proses revolusi yang telah mengubah hidup dan kerja manusia. Hal-hal yang dulu dipikir tidak mungkin, hari ini semuanya menjadi mungkin. Inilah tantangan yang harus digeber Nadiem Makarim sebagai Mendikbud RI ke depan.
Teknologi dan big data adalah ciri dan dimensi yang akan mempengaruhi kehidupan manusia ke depan. Seluruh aspek kehidupan akan mengarah pada digitalisasi. Suka tidak suka, ekosistem industri digital sudah di depan mata.Â
Revolusi industri menjadi sebab utama berubahnya peradaban dan perilaku manusia. Lalu, bagaimana dunia pendidikan mengantisipasi dinamika revolusi industri 4.0?Â
Jangan sampai, pendidikan yang seharusnya mencetak produk pendidikan justru tertinggal jauh dari mesin atau teknologi digital. Menuju era pendidikan 4.0 kini menjadi isu penting dunia pendidikan. Sebuah era pendidikan yang berbasis kompetensi dan kreativitas.
Harus diakui, mencari cara untuk membenahi dunia pendidikan di Indonesia tidak mudah. Â Dunia pendidikan bukan hanya dihadapkan pada tantangan besar.Â
Tapi juga ancaman akibat gempuran era digital yang kian masif. Berharap adanya kualitas pendidikan di Indonesia bisa jadi masih angan-angan. Terlalu banyak batu sandungan, membuat dunia pendidikan terus-menerus jadi polemik. Mulai dari soal kekerasan di sekolah, dilema praktis kurikulum, kualitas guru, model pembelajaran, plagiasi, hingga korupsi di dunia pendidikan.Â
Era pendidikan 4.0 mutlak harus direalisasikan. Pendidikan harus mampu merespon dengan cepat era otomatisasi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan. Maka jawabnya, era pendidikan 4.0 yang berbasis kompetensi dan kreativitas-lah yang mampu mengimbangi laju revolusi industri 4.0.
Era pendidikan 4.0 adalah momentum semua pihak untuk berpikir ulang tentang cara memajukan pendidikan Indonesia. Pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif seluruh bangsa.Â
Pendidikan tidak bisa dipandang sebagai sebuah program pembelajaran semata. Karena pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak, tanpa terkecuali.Â
Urusan pendidikan, masyarakat harus merasa memiliki, pemerintah harus memfasilitasi, dunia bisnis harus peduli, pendidik dan anak didik harus menyadari makna pendidikan yang hakiki.
Revitalisasi Proses PendidikanÂ
Pendidikan 4.0 sama sekali tidak bisa dilihat sekadar "program". Bukan pula kegiatan dan tanggung jawab yang terbatas pada para pelaksana pendidikan. Pendidikan 4.0 adalah gerakan yang dilandasi ownership terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Demi masa depan pendidikan. Maka semua pihak, harus mau dan bersedia menjadi bagian dari ikhtiar untuk menyelesaikan problematika pendidikan di Indonesia.
Pendidikan 4.0 pun harus mampu mengemas upaya pencerdasan dan penumbuhan generasi berkarakter, berkepribadian. Ikhtiar mengembalikan kesadaran tentang pentingnya pendidikan karakter menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat. Agar tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab dapat diwujudkan.
Era pendidikan 4.0 intinya mengajak kita untuk melakukan instrospeksi diri, mengukur apa yang sudah benar dan apa yang masih salah dalam proses pendidikan selama ini. Era pendidikan 4.0, mau tidak mau, mendesak dunia pendidikan untuk berpikir ulang dan merevitalisasi pendidikan yang bertumpu pada:
Pertama, revitalisasi sekolah sebagai sentra pendidikan yang mandiri dan berkarakter. Sekolah seharusnya menjadi penentu arah pembelajaran yang berbasis proses dan rasa cinta. Agar siswa menjadi pribadi yang mandiri dan berkarakter. Sekolah bukan pelaksana kurikulum. Sekolah harus mampu menjadi basis pengembangan budaya dan karakter siswa.
Kedua, guru sebagai fasilitator pembelajaran. Guru harus mampu mengendalikan konten dan arah pembelajaran yang jelas, di samping menjadikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Guru harus memiliki kreativitas dan keberanian untuk menuntun siswa dalam menemukan pelajaran dan bidang yang disenanginya.
Ketiga, kesetaraan sebagai orientasi pendidikan, bukan kesempurnaan. Praktik dan perilaku belajar harus didorong untuk membangun kesetaraan, bukan kesempurnaan. Orientasi pendidikan adalah membangun kerjasama, bukan kompetisi antarsiswa. Belajar bukan sarana untuk mencapai nilai tinggi, melainkan untuk membangkitkan kegairahan siswa dalam belajar. Kegiatan belajar bukan bergantung pada "kunci jawaban", tetapi bertumpu pada "pengertian".
Keempat, siswa berpegang pada proses dalam belajar, bukan hasil belajar. Proses agar siswa berani bertanya dan tidak takut salah. Karena dengan cara itu, siswa akan mampu mengeksplorasi potensi diri, di samping dapat memacu kreativitas dalam belajar. Hasil belajar bukan satu-satunya indikator keberhasilan siswa dalam belajar.
Kelima, pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif. Adanya kesadaran akan makna pendidikan dan upaya bersama menyelesaikan problematika pendidikan. Semua elemen masyarakat harus terlibat dalam proses dan dinamika pendidikan. Karena pendidikan bukan program melainkan gerakan moral bersama untuk memajukan harkat dan martabat manusia sekaligus bangsanya.
Keenam, pendidikan adalah mitra paling strategis revolusi industri 4.0. Kemajuan teknologi dan digitalisasi harus menjadi pemantik akan pentingnya perubahan di dunia pendidikan. Produk pendidikan dan anak didik harus dipersiapkan sebagai ujung tombak dalam menangani perkembangan teknologi sepesat apapun.
Tantangan terbesar yang harus dieksekusi Nadiem Makarim sebagai Mendikbud adalah menjadikan pendidikan di Indonesia harus bertindak adaptif dan kolaboratif. Karena pendidikan tidak berdiri sendiri. Namun menjadi tanggung jawab semua pihak. Era pendidikan 4.0 pada praktiknya tidak boleh lagi menjejali anak didik dengan beragam materi pelajaran. Karena pendidikan bukan untuk mengejar nilai semata lalu melupakan proses. Pendidikan 4.0 adalah sebuah kompetensi, sebuah kreativitas. Â
Harusnya kini, pendidikan bukan hanya menjadikan produk sekolah dan perguruan tinggi sebagai "jawaban" atas masalah kemanusiaan. Tapi lebih dari itu, pendidikan harus meniadakan orang-orang yang hanya "tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal". Semangat Pak Nadiem, hadapi tantangan besar dunia pendidikan di Indonesia. Anda pasti bisa !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H