Menulis ilmiah seringkali dijadikan momok bagi mahasiswa di jenjang apapun; S1, S2 maupun S3. Menulis ilmiah dianggap hal yang menakutkan. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang buru-buru bilang "saya tidak bisa menulis".Â
Maka konsekuensinya, berapa banyak mahasiswa yang "tidak mampu" menyelesaikan studi tepat waktu? Akibat gagal menyelesaikan skripsi, tesis atau disertasi.
Lagi-lagi, menulis ilmiah dianggap sulit. Entah karena memang jarang menulis. Atau memang karena selama menjadi mahasiswa memang "malas" menulis. Bila mahasiswa tidak mau menulis ilmiah, lalu kepada siapa menulis ilmiah harus dialamatkan?
Maka, tidak bisa tidak, mahasiswa di manapun harus jadikan menulis ilmiah sebagai perilaku. Karena hakikatnya, aktivitas dan hidup mahasiswa sehari-hari pasti berhadapan dengan kegiatan ilmiah. Mulai dari kuliah, membuat makalah, presentasi, diskusi ilmiah, penelitian hingga menulis skripsi/tesis/disertasi. Dan semua itu harus dituliskan secara ilmiah, bukan secara tidak ilmiah. Maka mahasiswa harus menulis ilmiah.
Ada 3 (tiga) alasan kenapa mahasiswa harus jadikan menulis ilmiah sebagai perilaku?
Pertama, karena mahasiswa dari sejak kuliah hingga lulus pasti berhadapan dengan aktivitas ilmiah. Setidaknya membuat skripsi, tesis, atau disertasi. Bahkan tidak sedikit tugas kuliah, makalah, hasil diskusi hingga seminar yang disajikan dalam tulisan ilmiah.Â
Kedua, karena memori mahasiswa sangat terbatas sehingga tulisan ilmiah adalah alat jitu untuk merekam seluruh peristiwa dan argumentasi ilmiah yang dialami mahasiswa. Ketika mahasiswa lemah dalam mengingat, maka menulis ilmiah adalah solusinya.Â
Ketiga, karena menulis ilmiah sama artinya dengan membangun peradaban manusia. Tulisan adalah sebab terbentuknya peradana manusia. Apa yang terjadi di masa lampau hanya bisa diketahui karena ada tulisannya. Bahkan budaya literasi yang kini digembar-gemborkan hampir pasti tidak bermanfaat tanpa didukung perilaku membaca dan menulis.
Maka, mahasiswa harus jadikan menulis ilmiah sebagai perilaku. Sejak masuk kuliah hingga lulus, mahasiswa harus membiasakan diri untuk menulis. Berani menulis yang berdasar pengetahuan, pengalaman bahkan perasaannya. Hanya perilaku menulis yang bisa menjadikan seseorang memiliki kebiasaan menulis. Menulis ilmiah bukanlah pelajaran. Tapi menulis adalah perilaku yang harus dibuktikan dalam bentuk karya tulisan.
"Keterampailan menulis ilmiah mahasiswa hari ini tergolong memprihatinkan. Karena di tengah gempuran era digital seperti sekarang, justru makin menjauhkan mahasiswa dari perlaku menulis ilmiah. Mereka menjadi pasif dalam memberi informasi malah aktif mencari informasi secara instan. Itu semua terjadi karena lemahnya menulis ilmiah " ujar Syarifudin Yunus, Dosen Universitas Indraprasta PGRI yang sekaligus pegiat literasi Indonesia.
Faktanya, tidak sedikit mahasiswa yang menagnggap "menulis ilmiah" sebatas mata kuliah atau bahan pembelajaran. Padahal menulis adalah perilaku alias perbuatan. Karena "menulis" berarti perilaku menuangkan ide atau gagasan secara tertulis. Â Sedangkan "ilmiah" adalah sebuah cara berpikir yang bersifat ilmiah; pikiran yang memenuhi kaidah ilmu pengetahuan.Â
Maka, Â Menulis Ilmiah merupakan perilaku dalam menuangkan ide atau gagasan secara tertulis yang memenuhi kaidah ilmu pengetahuan. Antonim "menulis ilmiah" adalah "menulis nonilmiah".
Oleh karena itu, Menulis Ilmiah harus dijadikan perilaku. Bila perilaku-nya ada maka akan menjadi terbiasa atau kebiasaan. Bila sudah terbiasa maka menjadi kompetensi. Kompeten dalam menulis, kompeten dalam berpikir ilmiah. Tapi sayangnya, banyak mahasiswa belajar "Menulis Ilmiah" tapi pada akhirnya tetap tidak bisa menulis ilmiah.Â
Mungkin, itu semua terjadi karena banyak guru atau dosen yang hanya mengajarkan materi tapi tidak memberi contoh nyata untuk menulis ilmiah. Tentu, menulis ilmiah menjadi gagal ketika mahasiswa tidak mampu menulis ilmiah. Ketika guru atau dosen tidak mau dan tidak mampu menjadi contoh dalam menulis ilmiah. Menulis Ilmiah hanya sebatas dipelajari, tetapi tidak dilakukan. Maka jadikan menulis ilmiah sebagai perilaku.
Adalah fakta, minat dan jumlah tulisan ilmiah di Indonesia masih sangat rendah. Data dari Scientific American Survey (1994) menunjukkan bahwa kontribusi tahunan Scientist dan Scholars Indonesia pada pengetahuan (knowledge), sains, dan teknologi hanya 0,012 persen. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura 0,179 persen. Apalagi dibandingkan kontribusi ilmuwan di AS yang mencapai 20 persen.Â
Data lain, di Indonesia hanya ada 0,8 artikel per satu juta penduduk, sedangkan di India mencapai 12 artikel per satu juta penduduk. Maka wajar, kemampuan menulis ilmiah di Indonesia berada di posisi terendah dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, atau Thailand.
Maka solusi untuk "menghidupkan" tradisi menulis ilmiah harus dimulai dari mahasiswa. Mahasiswa pun harus berani menjadikan menulis ilmiah sebagai perilaku. Â
Bila perlu, menulis ilmiah dijadikan sebagai "gaya hidup". Kapanpun dan di manapun, harus menulis. Berani menulis, gemar menulis, dan berperilaku menulis. Karena menulis bukanlah bakat tapi minat dan keberanian.
Menulis ilmiah adalah perilaku. Caranya sederhana, setiap mahasiswa harus latihan menulis yang serius, terarah, dan sesuai kaidah penulisan ilmiah. Setelah itu, berani untuk mempublikasikannya sehingga bermanfaat bagi pembaca. Menulis Ilmiah harus dilandasi "keteladanan", contoh dan perilaku yang baik dalam menulis ilmiah.
"Di tengah era informasi yang begitu terbuka, kemampuan menulis mahasiswa sangat penting. Agar kita dapat mencerna setiap informasi dan mampu diantisipasi melalui tulisan yang bersifat ilmiah. Apalagi informasi dan berita hoaks yang massif seperti sekarang, tentu hanya bisa dijawab secara ilmiah, berdasar logika dan objektivitas" tambah Syarifudin Yunus yang saat ini tengah studi S3 Manajemen Pendidikan di Pascasarjana Unpak.
Patut diketahui, menulis ilmiah merupakan bentuk penyampaian pikiran ilmiah secara tertulis dan harus memenuhi syarat keilmiahan, seperti 1) faktual, 2) logis, 3) objektif, dan 4) sistematis.Â
Menulis ilmiah bertumpu pada keterampilan menulis dan cara berpikir ilmiah yang dituangkan ke dalam tulisan. Maka tulisan ilmiah yang baik harus mampu "mendekatkan jarak" antara penulis dan pembaca.Â
Karena itu, Menulis ilmiah mengharuskan terjadinya pemahaman dan penafsiran yang sama antara pembaca dengan isi bacaan. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam tulisan ilmiah harus bersifat lugas, jelas, dan memenuhi kaidah bahasa baku.
Maka menulis ilmiah harus jadi perilaku mahasiswa.
Mahasiswa yang bukan hanya tahu tentang menulis ilmiah. Tapi harus berani berperilaku untuk menulis ilmiah. Menulis Ilmiah bukan untuk dipelajari apalagi ditunggu. Menulis ilmiah adalah perilaku; untuk dilakukan sekarang, bukan esok atau lusa. Karena menulis ilmiah yang mampu menguak makna bahwa "opini itu bebas, tetapi fakta adalah suci"... #MenulisIlmiah #MahasiswaMenulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H