Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filosofi Mudik

31 Mei 2019   23:37 Diperbarui: 31 Mei 2019   23:47 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim lebaran pastinya musim mudik.

Apalagi di Indonesia. Mudik, bisa jadi bukan hanya ritual tahunan. Namun sudah jadi "gerakan moral" yang melebihi fanatisme kepada seorang capres sekalipun.

Mudik juga bukan soal orang kampung atau orang kota. Tapi mudik adalah sikap tentang cara menghargai kampung halaman; tanah kelahiran dan bumi pijakan para leluhur.

Maka wajar, hari-hari jelang lebaran. Jutaan manusia di pelbagai wilayah, berduyun-duyun untuk mudik. Tak peduli macet, tak peduli panas terik matahari. Mudik, sepertinya telah memberi energi tersendiri. Sebuah kerinduan akan kampung halaman dan segala kenangan yang ada di dalamnya.

Mudik itu artinya pulang kampung. Sebuah tradisi yang selalu melekat di masyarakat. Mudik, sebuah kebiasaan yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Mau secanggih apapun otak manusia, sehebat apapun teknologi. 

Mudik tetap jadi pilihan banyak orang. Apalagi jelang lebaran. Mudik ibarat simbol "lonceng disuruh pulang" bagi kaum perantauan; kaum urban yang telah berjuang mengembara di kota yang bukan tanah kelahirannya. Entah karena pekerjaan, karena pendidikan atau demi status sosial. Mudik itu sebuah panggilan psikologis untuk pulang. Pulang ke kampung halamannya, kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Mudik juga jadi tanda, bagi siapapun yang hidup di perantauan, pasti merasakan ada yang "hilang" dalam dirinya, dalam hidupnya. Maka mudik dianggap dapat "menemukan" kembali jati diri manusia, seperti aslinya.

Setiap tahun jutaan manusia mudik.

Ada sesuatu yang sacral dari ritual mudik. Tentu, tidak bisa diungkap dengan kata-kata. Mudik, sebuah semangat untuk "pulang".

Tidak masalah berdesak-desakan di kereta, berjubel-jubel di bis, bermacet ria di jalan, hingga menempuh ratusan kilometer hanya berbekal sepeda motor. Karena mudik sebuah panggilan batin, untuk mengingatkan manusia. Tentang "dari mana ia berasal dan mau ke mana ia menuju ...".

Mudik, persis seperti orang yang sehari-hari bekerja,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun