Bagiku, bisa jadi, Rangga begitu emosional. Karena hingar-bingar politik dan pilpres tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Pilpres tidak lagi dianggap sebagai ajang demokrasi lima tahunan. Mitos pilpres telah bergeser. Pilpres dianggap dianggap dapat menentukan untung rugi-nya hidup si pemilih.
Seperti yang dialami Rangga. Aku semakin bingung. Pilpres malah menjadikan jalan pikirannya tidak rasional. Dia sangat takut. Bila kandidat yang bukan pilihannya terpilih. Maka wajar, dia berjuang untuk memaksa mitos pikirannya menjadi keharusan realitas. Rangga, telah mengeramatkan dan mengagungkan secara berlebih-lebihan tentang arti demokrasi.
"Mas Rangga, entah kenapa? Hanya karena pilpres, kamu berubah" tanyaku.
"Tentu, karena aku ingin. Orang dekatku sepikiran dengan pilihanku. Termasuk kamu" ujar Rangga.
"Tapi, bukankah memilih pemimpin itu urusan personal. Bila kita tidak bisa sama, kenapa tidak boleh beda?" tanyaku lagi.
"Ahhh, sudahlah. Kamu tahu apa tentang politik, tentang pilpres. Gak terlalu banyak bicara" tegas Rangga.
Melihat perubahan sikap dan perilaku Rangga, aku merasa aneh. Sebegitu jauhkah politik merasuk dalam pikiran manusia. Apa sih susahnya, menghargai perbedaan. Apa susahnya tinggal coblos pemimpin pilihan kita. Lalu, kenapa harus dipertentangkan?
Lambat laun, hubunganku sulit lagi dipertahankan dengan Rangga.
Semakin lama, ia semakin kasar terhadapku. Ia lebih gemar bertengkar. Hanya karena perbedaan pilihan politik. Aku baru paham. Bahwa sebelumnya, aku terperangkap. Masuk ke dalam jebakan seorang laki-laki yang "merasa benar dalam bercinta, tapi salah berperilaku".
Hampir tidak masuk akal lagi. Emosi Rangga selalu memuncak setiap hari, setiap kali bertemuku. Hingga saat menjempuku ke kampus hari ini. Tanpa basa-basi, ia meminta sesuatu yang mengejutkan.