Mendesak revisi UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun. Di samping sudah tidak relevan, dana pensiun pun harusnya mampu menjadi alternatif pendanaan jangka panjang. Apalagi di era revolusi industri 4.0, UU Dana Pensiun dipastikan sudah tidak cocok dengan dinamika struktur demografi pekerja Indonesia saat ini. Maka sudah saatnya, pemerintah memberi atensi untuk segera merevisi UU Dana Pensiun. Tujuannya, agar pekerja di Indonesia mendapat kepastian masa pensiun yang sejahtera.
Di tahun 2018 lalu, untuk kali pertama kinerja industri dana pensiun di Indonesia tidak sampai dua digit. Aset DPLK hanya tumbuh 9,5%. Kepesertaan dana pensiun pun tidak lebih 5 juta pekerja, sangat kecil dibandingkan 50 juta pekerja formal atau 70 juta pekerja informal seantero Indonesia.Â
Struktur demografi pun telah berubah ketika angka kelahiran cenderung menurun dan populasi lanjut usia akan meningkat pesat. Maka, ketersediaan dana di masa pensiun bagi pekerja menjadi penting dikemukakan.
Memang, kontribusi industri dana pensiun terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sangat rendah, tidak lebih dari 1,63%. Hanya Rp263 triliun per Desember 2018. Sementara di sisi lain, potensi pasar dana pensiun masih sangat besar. Tapi nyatanya, angka pertumbuhan aset dan kepesertaan seperti "jalan di tempat". Itu berarti, harus ada regulasi yang perlu diperbaiki. Persisnya, UU 11/1992 tentang Dana Pensiun perlu direvisi.Â
Agar industri dana pensiun tetap bisa survive dan lebih diminati oleh masyarakat. Sehingga dapat memberi kontribusi yang signifikan terhadap ekonomi nasional dan yang terpenting terwujudnya masa pensiun pekerja yang benar-benar sejahtera.
Mengapa mendesak UU 11/1992 tentang Dana Pensiun? Karena dana pensiun menyangkut "hajat hidup" puluhan juta pekerja di Indonesia di masa pensiun. Bila mampu dihimpun dengan baik, dana pensiun pun punya potensi menambah kocek dana jangka panjang yang luar biasa.Â
Sementara program wajib seperti BPJS Ketenagakerjaan tidak sepenuhnya mencukupi karena hanya bersifat dasar. Maka dengan dana pensiun, seharusnya kesejahteraan pekerja di masa pensiun jauh lebih pasti.Â
Akumulasi dana pensiun yang dimiliki puluhan juta pekerja bisa dipastikan dapat memperkokoh fundamental ekonomi Indonesia. Sebaliknya, bila dana pensiun sangat kecil maka stabilitas ekonomi menjadi rentan akibat situasi politik, kurs rupiah yang melemah dan sebab lainnya. Teori ekonominya sederhana, semakin besar dana yang dihimpun untuk jangka panjang maka kondisi ekonomi nasional pasti semakin kuat, tidak mudah goyah.
Di sisi lain, dikarenakan dana pensiun bersifat jangka panjang. Maka pemerintah sangat perlu memberi insentif kepada peserta dana pensiun, khususnya tarif perpajakan. Karena peserta dana pensiun adalah orang-orang yang berani memilih untuk "menunda kenikmatan hari ini untuk masa pensiun".Â
Sementara banyak orang mengedepankan perilaku konsumtif dan gaya hidup hedonis, maka kesadaran pekerja untuk menjadi peserta dana pensiun patut diapresiasi dan diberi insentif. Tapi sayang, hari ini ada kesan dana pensiun tidak menarik. Bahkan terkesan terlalu banyak regulasi yang membatasi.
Memang, industri dan pelaku dana pensiun seharusnya melakukan edukasi dan sosialisasi secara lebih masif dan berkelanjutan. Namun bila "payung hukum" setingkat UU 11/1992 sudah tidak relevan lagi. Maka akan sulit industri dana pensiun bisa berkembang dan berkontribusi secara signifikan.