Pendidikan tinggi, pangkat dan jabatan tidak menjamin seseorang akan literat. Apalagi cuma status sosial. Karena banyak orang, tidak pernah membaca "petunjuk pemakaian" di bungkus setiap barang yang dibelinya. Bersedia jadi konsumen, tapi tidak mau membaca aturan pakai.
Debat capres sudah kelar. Tapi pendukungnya terus berlanjut saling sindir, saling menjelekkan. Bahkan saling adu data yang bikin orang awan bingung. Kebenaran jadi dibikin semu. Saling komentar saling oceh. Tapi sayang, semuanya hanya di atas reaksi emosional. Bukan logika lagi. Mewujudkan generasi literat bahkan masyarakat yang literat, sungguh "jauh panggang dari api".
Kita sering lupa, generasi literat itu adalah orang yang bukan hanya pandai mencari informasi yang benar. Tapi harus pandai menggunakan informasi yang benar untuk keperluan apa? Tapi faktanya kini, malah sebaliknya. Data dan fakta yang salah di bolak-balik. Agar dia dibilang benar, sementara orang lain salah.
Hari ini di musim pilpres. Generasi literat bisa jadi hanya omong kosong. Banyak orang berjuang mati-matian agar dibilang berpikir kritis terhadap informasi. Tapi nyatanya, semua itu hanya celoteh belaka. Reaksinya terlalu emosional. Basisnya hanya ketidak-sukaan bahkan kebencian.
Generasi literat di negeri ini cuma mimpi. Informasi diolah sedemikian rupa biar bisa jadi luapan emosi. Tidak tahu duduk persoalan tapi komentar seperti ahli politik. Kerjanya hanya menghakimi orang lain, memvonis. Semua yang tidak sama dengan dia, dianggap salah. Generasi literat dodol.
Zaman now, gak mudah mewujudkan generasi literat; generasi yang sadar akan pentingnya tradisi membaca dan menulis. Apalagi di tengah gempuran gawai dan teknologi informasi yang kian "tanpa batas". Dulu kita dibesarkan dalam tradisi lisan, kini dididik oleh tradisi "tontonan" dan "komentar". Tanpa pernah peduli lagi pada tradisi baca dan tulis.Â
Konsekuensinya, anak-anak zaman now pun kian jauh dari buku, kian jauh dari tradisi menulis. Bahkan masyarakat dan kaum dewasa yang katanya berpendidikan tinggi pun sama sekali tidak literat. Asal ngoceh asal komentar. Menyebar informasi yang tidak jelas di media sosial, tapi gayanya seperti bertanya "ini benar gak ya?".
Literat hanya dianggap pandai argumentasi pandai berkata-kata. Atas nama kebebasan ekspresi, apa saja boleh dilampiaskan. Pantas, generasi literat kian sulit diwujudkan. Karena contoh buruk lebih banyak daripada contoh baik.
Generasi literat, bukan hanya gagasan tapi harus diwujudkan. Literat itu perilaku, bukan ambigu. Literat pun aksi nyata bukan niat sebatas maya. Sudah saatnya, kaum milenial dan anak-anak harus diberi ruang yang cukup untuk membaca dan menulis. Siapapun, termasuk guru dan orang tua, tidak boleh berdiam diri untuk "menghidupkan" tradisi literasi di kalangan anak-anak maupun kam milenial.
Mengapa generasi literat?
Karena suka tidak suka, hari ini makin banyak orang tua yang sudah enggan membelikan buku anak-anaknya. Ajaran akan pentingnya membaca dan menulis makin terpinggirkan.Â