Siapapun, sangat boleh menguber nama baik. Apalagi untuk kekuasaan, nama baik itu maha penting, biar bisa dipilih dan dimenangkan. Konon, semua yang diperjuangkan katanya untuk nama baik. Ya, demi nama baik bangsa, demi nama baik negara. Mungkin, demi nama baik si penganut agama.
Saking mahalnya itu nama baik gak sedikit orang hari ini "membuat" nama baik versinya sendiri. Biar dikenang sebagai orang baik, biar namanya baik. Di saat yang sama gak sedikit pula orang yang "mengaku" nama baik-nya dicemarkan. Jadilah, namanya "pencemaran nama baik".Â
Menteri terbaik di dunia, dibilang menteri pencetak utang. Orang kampung berprestasi ke kota, dibilang antek-antek asing. Negara udah puluhan tahun merdeka, dibilangctukang ngutang. Orang kurus seperti saya juga boleh kok dibilang miskin dan kurang gizi. Emang udah hukumnya.Â
Kenapa Anda gemar menjelek-jelekkan orang lain? Mungkin, agar Anda dibilang baik. Orang yang ngomongin orang lain, tentu sedang mengukir nama baik. Sementara orang yang diomongin biar nama baiknya rusak, nama baiknya hancur. Itu semua terjadi, atas dasar "nama baik".
Jadi, bila ada orang hari ini. Teriak-teriak orang lain buruk pasti dia ingin dibilang dirinya punya nama baik. Senjatanya, kebencian, hujatan bahkan berita bohong. Karena hanya orang yang sedang berjuang ingin punya "nama baik" yang sudi mencaci-maki, menyebar fitnah bahkan membenci orang lain.
Kata-kata yang keluar dari mulutnya "sengaja" dibikin agar nama baik orang lain atau lawannya jadi buruk. Lalu dia merasa "menang" dan punya nama baik. Dia menikmati, sebagai pemilik nama baik. Luar biasa...
Nama baik, begitu penting buat banyak orang. Buat si Capres, si Cawapres dan bahkan pendukungnya. Tentu, agar dibilang baik. Agar namanya harum mewangi walau hanya sebatas dunia maya. Bila kecerdasan saja bisa direkayasa, industri bisa direkayasa. Jadi kenapa tidak, kita merekayasa nama baik?
Cuma sayang, banyak orang lupa.
Nama baik itu bukan atas apa yang diomong, atau yang diocehkan. Nama baik itu, atas apa yang diperbuat dan nama baik sama sekali tidak ada hubungan dengan pangkat, jabatan, atau status sosial. Apalagi harta dan keturunan.Â
Buat apa akhlak, bila digunakan untuk membenci orang lain. Buat apa cerdas, bila digunakan untuk membodohi orang lain. Buat apa berkuasa, bila dilakukan dengan menjelekkan orang lain. Tuhan kita itu bukan nama baik.Â
Karena nama baik itu, isinya hanya perbuatan baik atas niat baik.Â
Maka bila Anda orang baik, teruslah benci dan hujat orang-orang yang menurut Anda tidak baik. Bila itu membuat Anda lebih baik, bila Anda bisa gembira. Biarkan oang lain jadi tidak baik menurut ocehan Anda sendiri. Semua itu kan kata Anda. Bukan kata kebanyakan orang.
Bila ada orang dibilang punya nama baik, tanpa perbuatan dan niat baik. Itu pasti bukan orang baik. Nanti waktu yang akan membuktikannya.
Hanya orang-orang yang tidak baik yang kerjanya menghakimi orang lain. Hanya orang-orang yang pikirannya negatif, pasti sulit menerima kebaikan orang lain. Jadi biarlah, mereka mengejar "nama baik". Buat mereka sendiri, dan akan dinikmati sendiri pula.
Jadi, betulkah mereka benar-benar baik. Atau pura-pura baik?
Sungguh, hanya perbuatan baik dan niat baik yang akan memperlihatkannya. Bukan ocehan atau omongannya.
Karena nama baik dan perbuatan baik.
Persis seperti "orang yang menanam padi (kebaikan) dan rumput (ketidak-baikan) selalu ikut tumbuh di sana. Tapi saat menanam rumput (ketidak-baikan) sudah pasti padi (kebaikan) tidak akan pernah tumbuh di sana".
Selamat berjuang untuk nama baik, selamat menjadi penguasa yang baik... #TGS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H