Jangan pernah berpikir. Bahwa kaum buta huruf hanya ada di pelosok daerah atau yang jauh dari Ibukota Jakarta.
Sebut saja teh Mimin, salah satu contoh ibu yang berada di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kab. Bogor, di Kaki Gn. Salak yang hanya 70km dari Jakarta.
 Dia buta huruf, tentu bukan karena tidak punya kesadaran. Tapi akibat budaya dan lingkungan yang membesarkannya saat dulu kini dia menjadi salah satu kaum yang tergolong buta huruf. Jangan baca dan tulis, mengingat tanggal kelahiran dan umur berapa sekarang pun dia tidak tahu?
Teh Mimin, hanya salah satu dari 5 ibu-ibu yang kini tergabung dalam GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBER BURA) Lentera Pustaka; sebuah gerakan sosial untuk memberantas buta huruf yang dipelopori oleh Syarifudin Yunus, dosen Universitas Indraprasta PGRI Jakarta yang setiap hari Minggu siang mendedikasikan waktunya untuk mengajar di GEBER BURA.
Setelah berhasil merintis Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka, Syarifudin Yunus kini mengembangkan program pemberantasan buta huruf di Desa Sukaluyu yang masyarakatnya tergolong berpendidikan rendah, di samping prasejahtera.Â
Syarif, begitu panggilannya, membuktikan aksi nyata kepeduliannya karena mendengar cerita seorang ibu buta huruf yang tiap kali anaknya punya "pekerjaan rumah" dari sekolah selalu minta tolong kepada tetangga. Hanya karena si ibu buta huruf, tidak bisa baca bahkan tidak bisa tulis.
"Saya terpanggil untuk membuktikan kepedulian secara nyata untuk membebaskan kaum buta huruf di sini. Maka saya kobankan waktu tiap hari Minggu untuk mengajar kaum buta huruf. Ini bukan soal pengabdian sosial. Tapi soal cara sederhana untuk memberdayakan mereka, minimal berdaya di mata anak-anaknya" ujar Syarif.
Sekalipun memiliki pengalaman mengajar lebih dari 24 tahun sebagai dosen, Syarifudin Yunus mengakui bahwa mengajar kaum buta huruf tidaklah mudah. Tidak segampang yang dipikirkan. Di samping mereka sudah berumur tua, kebiasaan membaca dan menulis sama sekali tidak ada di mereka sejak puluhan tahun.
Mulut dan lidahnya sangat sulit menyebut huruf, tangannya pun kaku diajak menulis. Oleh karena itu, perlu trik dan cara yang pas untuk mengajar baca dan tulis pada kaum buta huruf. Karena bila tidak pas, terlalu mudah bagi kaum buta huruf untuk "tidak datang lagi" dan berhenti belajar baca dan tulis.
"Bagi saya, mengajar kaum buta huruf sama sekali tidak ada hubungan dengan jam terbang mengajar. Sama sekali berbeda dengan mengajar mahasiswa di kampus. Di sini, butuh cara sendiri yang sesuai dengan mereka. Metode belajar tidak perlu baku seperti di sekolah. Bahkan tidak boleh kaku. Prinsipnya, mereka harus dibuat senang dalam belajar baca dan tulis" tambah Syarifudin Yunus.
Belajar yang menyenangkan itu penting bagi kaum buta huruf. Agar kaum buta huruf mau belajar tanpa malu. Agar mau belajar tanpa rasa gengsi. Maklum, kaum buta huruf itu sudah terlalu "nyaman" tidak bisa baca tidak bisa tulis. Apalagi memang di pendidikan formal, tidak ada kelas buat kaum buta huruf.
Dalam menjalankan kepedulian terhadap kaum buta huruf, Syarifudin Yunus menyatakan tidak punya metode khusus. Karena modalnya cuma "kepedulian" untuk membantu kaum buta huruf yang sudah puluhan tahun tidak bisa baca dan tidak bisa tulis.Â
Karena pendidikan nonsekolah sangat bergantung pada kemampuang mengintegrasikan budaya, kearifan lokal, target yang ingin dicapai, dan yang terpenting kemauan belajar kaum usia lanjut.
Tapi setelah berjalan, hingga kini GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBER BURA) menjadi bukti adanya semangat dan motivasi belajar kaum buta huruf. Sebuah potret kepedulian untuk "bangkit" dari keadaan yang tidak kenal huruf, tidak bisa baca tidak bisa tulis memang harus terjun langsung. Karena niat baik harus diwujudkan dalam aksi nyata.Â
"Saya fokus agar mereka senang. Karena bila sudah senang, mau ngapain saja enak. Maka upaya memberdayakan kaum buta huruf harus berbasis kepedulian lalu sabar menjalankannya" tambah Syarif.
Kini, dengan pertemuan seminggu 2 kali, ibu-ibu yang tergabung dalam GEBER BURA pun terlatih untuk mengenal huruf dan angka, dibiasakan meng-eja suku kata dan kata, selaku diberi PR setiap pertemuan untu melatih menulis.
 Tentu, dengan cara yang santai sambil tertawa segar karena bacanya salah atau menulisnya menanjak ke atas. Di Di GEBER BURA, tiap pertemuan, selalu ada canda dan "hadiah" buat kaum buta huruf. Entah itu, seliter beras, makan bakso yang lewat bersama-sama atau sekedar menghisap es tungtung. Agar mereka semangat belajar di GEBER BURA.
Memberantas buta huruf, tentu tidak bisa dilakukan hanya sebatas niat sebatas diskusi. Harus ada kemauan dan keberanian untuk terjun langsung. Sambil mengamat, bahwa sekolah dan belajar tidak hanya terbatas pada pendidikan formal. Tidak ada kurikulumnya, bahkan tidak banyak orang yang mau mengajarkan kaum buta huruf.
Setelah terjun langsung di GEBER BURA, sangat salah bila ada orang yang bilang "biarkan orang lain mabuk asal tidak ganggu kita". Seharusnya "terjunlah ke lapangan, lalu perbaiki keadaan mereka agar bisa lebih berdaya dari sebelumnya".Â
Memberantas buta huruf, sungguh butuh kepedulian dan kesabaran ... #GEBERBURA #TBMLenteraPustaka #BerantasButaHuruf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H