Karena penikmat kopi sadar. Untuk apa ikut terpengaruh oleh orang lain. Untuk apa ikut-ikutan membenci, ikut-ikutan jutek. Sama sekali gak berguna. Karena reaksi seringkali "mengabaikan" substansi.
Kopi itu nikmat bukan hanya aromanya. Tapi juga suasananya. Dan kopi gak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya. Karena di hadapan kopi kita semua sama.
Bagi penikmat kopi, dilayani dengan buruk tetap rileks. Dilayani dengan sopan pun santai saja. Karena pada secangkir kopi, tidak boleh ada orang lain yang ikut menentukan cara kita dalam bertindak.
Penikmat kopi cuma prihatin saja.
Kenapa di luar sana, banyak orang terpengaruh oleh celoteh orang lain. Bereaksi cepat atas ulah orang lain. Kalo orang lain bertindak jelek dibalas lebih jelek lagi. Kalo orang lain membenci dibalas dengan kebencian. Kalo orang lain menghujat dibalas dengan hujatan. Kalo mereka tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kenapa begitu?
Bagi penikmat kopi, itu semua tidak penting. Karena kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Bukan karena orang lain; bukan dipengaruhi orang lain. Biarkan saja bila ada orang lain tidak baik. Asal penikmat kopi tetap baik...
Sungguh, kaum penikmat kopi itu sederhana.
Penikmat kopi itu sadar betul. Di secangkir kopi, hitam itu tidak selalu kotor dan pahit itu tidak selalu menyakitkan. Jadi gak perlu terpengaruh, atau ingin mempengaruhi. Rileks saja.
Ngopilah dulu. Agar tetap rileks.
Apalagi di musim pilkada, musim pilpres begini. Banyak orang celoteh lagi berisik hanya untuk kekuasaan. Ngopilah biar santai. Agar bisa tetap sejuk di tempat yang panas. Agar tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar. Agar tetap tenang di tempat gaduh sekalipun.
Penikmat kopi itu paham kok.