Mungkin banyak orang udah pada lupa.
RASA itu pilihannya, kalo gak manis ya pahit. Kalo gak gembira ya sedih. Kalo gak senang ya benci. Itu aja dan gak jauh-jauh dari situ. Maka biar gak bergantung pada RASA. Harus ada ruang yang lebih besar buat REALITAS, buat kenyataan. Mati rasa itu terjadi karena gak mampu bersahabat dengan REALITAS. Wajar kalo akhirnya lupa bersyukur, lupa menikmati hidup yang dimiliki.
Manusia emang kadang aneh. Katanya gak ada manusia yang hidupnya sempurna. Tapi di saat lain, ia menyesali keadaannya sendiri. Ia mengeluh dalam hidupnya. Ia tidak mau menerima realitas hidupnya. Sungguh, itu semua terjadi karena RASA. Terlalu bergantung pada rasa.
Rasa atau perasaan.
Setangkup garam kalo ditabur di segelas air pasti rasanya asin. Tapi setangkup garam kalo ditabur di bak mandi apalagi danau gak bakal ada rasanya, gak pengaruh. JADI RASA ITU JUSTRU BERGANTUNG PADA WADAHNYA, PADA SUASANANYA. SEMAKIN BESAR WADAHNYA MAKA SEMAKIN TIDAK ADA RASANYA.
Gak semua hal tergantung RASA. Justru semua hal tergantung SUASANA dan MAKNA. SUASANA itu penting untuk menciptakan keselarasan lahir dan batin, hati dan pikiran. MAKNA itu penting agar kita selalu bersyukur atas apa yang ada, apa yang kita miliki.
Terus, kalo sekarang RASA elo gak enak, PERASAAN elo galau gimana?
Itu urusan elo, silakan saja cari jalan keluarnya sendiri. Gak usah ajak-ajak gue. Iya gak. Tapi gue cuma mau bilang, "gak semua hal tergantung pada RASA". Karena RASA itu bersifat subjektif, wilayahnya terlalu personal.
Okee, gak usah tergantung pada rasa. Tapi hadapi saja realitas. Elo boleh pilih apapun sesuai rasa elo. Elo boleh pikir siapapun seperti yang elo pikir. Tapi hasil akhirnya pasti sesuai dengan ketetapan Allah. Apa yang kita punya itu sudah lebih dari cukup. Ciamikk...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H