Orang zaman now itu susah "nrimo".
Nrimo. Saya memang bukan orang Jawa. Tapi saya suka pada kata "nrimo" alias menerima. Kenapa? Gak tau. Seneng aja, boleh kan?
Ya, nrimo. Artinya "menerima" realitas atau kenyataan. Karena harapan kadang berbeda dengan kenyataan. Nrimo, karena gak semua yang kita pikir baik, itu baik juga buat orang lain. Bahkan dalam banyak sisi hidup, kita memang perlu lebih nrimo, lebih legowo.
Nrimo. Dapat banjir kiriman dari Bogor, orang Jakarta harus nrimo. Dapat "kartu kuning" ya nrimo aja. Kena OTT KPK ya harus nrimo dong. Kalo gak nrimo, emang mau ngapain?
Jadi, nrimo itu apa ?
Nrimo itu ya menerima. Menerima apa yang sudah dianugerahkan-Nya. Nrimo kalo Presiden kita kayak gitu. Nrimo kalo temen kita begitu. Nrimo kalo kita masih banyak kurangnya. Nrimo kalo yang kita terima itu cukup, bukan ora cukup hehe. Sok tau banget nih tulisan.
Nrimo apaan? Apa aja nrimo. Abis zaman now, banyak banget orang yang gak bisa nrimo. Gak bisa nrimo pendapat orang lain. Gak bisa nrimo sudut pandang yang beda. Sampe-sampe gak bisa nrimo hidupnya sendiri. Katanya kita percaya, hidup udah ada yang ngatur. Tapi kenapa masih banyak yang gak nrimo?. Asal udah ikhtiar, ya tugas kita tinggal nrimo. Enak kan ...
Nrimo itu bukan kepasrahan.
Karena nrimo itu harus didahului ikhtiar. Usaha dulu. Apapun hasilnya baru nrimo, dengan penuh rasa syukur. Kalo kata Bahasa Jawa, nrimo ing pandum. Menerima dengan legowo. Sikap berserah diri terhadap apa yang dianugerahkan Allah. Soal apapun, untuk apapun.
Seperti cerita tetangga saya. Ia baru saja kehilangan kedua anaknya. Anak pertamanya, meninggal dunia. Akibat sakit yang tidak diketahui sebelumnya. Selang setahun kemudian. Anak keduanya yang menghadap Illahi karena tertabrak di jalan saat sedang bermain. Sedih banget. Tapi, tetangga saya tetap tegar dan mampu menutupi rasa dukanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Nrimo sekali.
Saat saya ucapkan ikut berduka cita, lalu ia menjawab, "Terima kasih Pak. Anak saya cuma titipan Allah. Kalo diambil sama yang nitip, ya gak apa-apa. Saya nrimo".
 Sungguh buat saya, itu kata-kata yang luar biasa dari mulut seorang ayah. Saya salut dan selalu berdoa yang terbaik untuknya.
Terus, apa pentingnya nrimo buat kita?
Ya, pake nanya lagi. Tentu buat pelajaran. Agar kita lebih nrimo dalam hal apapun. Ingat, nrimo itu bukan pasrah. Tapi ikhtiar keras dan hasilnya biar Allah yang menentukan, bukan kita. Bukan pengennya kita. Maunya kita, bukan sama sekali.
Kalo kita percaya, ada Qodho dan Qodar, maka terimalah, nrimo-lah.
Nrimo diri. Tampang kayak gini, body pas-pasan. Nrimo aja. Syarat bahagia itu gampang. Terima aja diri kita sendiri. Gak usah aneh-aneh dan gak usah pengen kayak orang lain. Terima realitas dan gak usah maksa.
Dengan nrimo, kita jadi mau berbuat lebih baik dan selalu mengambil hikmah dari semua yang terjadi.
Nrimo. Sungguh, anugerah yang kita cari itu adanya bukan di seberang sana, bukan di luar sana. Tapi ada dalam diri kita sendiri. Maka nrimo aja. Karena "nrimo" itu pilihan yang baik bahkan terbaik. Kalo udah ikhtiar dan nrimo, biarkan Allah yang bekerja untuk kita.
Katakan NRIMO... ciamikk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H