Seperti hujan. Sastra matic kini ada banyak di jalan-jalan; di pelataran kampus, di pentas politik. Bahkan ada di ruang gelap tak bercahaya. Sastra yang menyeramkan. Sastra yang tidak bermukim di sanubari. Tapi sastra yang bermukim di otak manusia. Sungguh, menyeramkan. Pekat lagi tidak bersinar, itulah sastra matic.
Bercumbu dengan pemuja sastra matic, hidupmu bakal kelar.
Karena puisi, cerpen, novel bahkan drama bisa "diakali" dengan instan. Kamu tidak usah berpikir keras untuk meraih kata-kata indah seperti Hamsad Rangkuti dalam cerpennya "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?"
Dulu ada istilah "sastra picisan". Kini bolehlah disebut ada "sastra matic".
Sastra yang digenggam kaum zaman now. Sastranya orang-orang liar, sastra yang tidak perlu bersastra. Sastra matic, sastra atas tafsir sendiri. Sastra yang dianggap kreatif tapi bodong. Gayanya sastrawan. Tapi isinya tak lebih dari komik murahan.
Sastra matic; sastra yang serba instan.
Cara pandang sastra yang asal ngebut. Ngepot beraksi di atas panggung walau tanpa ilmu tanpa anutan apapun. Bertutur tanpa moral, bermimik tanpa bekal. Nyolot tapi ngotot, itulah ciri terpenting sastra matic. Mirip jelmaan sastra picisan, murah lagi menyeramkan.
Orang-orang sastra matic itu ada di dekat kita, di kampus kita, di sekitar tongkrongan kita. Orang-orang yang pengen sastra itu serba instan. Sastra yang indah katanya sendiri. Gaya sastranya orang-orang "ordinary people". Sastra matic banget, tinggal starter langsung gas pol lalu ngacir sendirian.
Sastra matic sering gerabak-gerubuk.
Gak usah menulis asal bisa jadi cerpen. Gak usah paham drama asal bisa aksi panggung. Gak usah belajar yang penting dapat ijazah. Gak usah kuliah yang penting wisuda. Gak usah kerja yang penting dapat duit. Gak usah menanam yang penting panen. Memang, enak hidup lewat gaya "sastra matic". Cara pikir matic, perilaku matic.