Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sastra "Matic", Gaya Sastra Picisan

30 November 2017   08:12 Diperbarui: 3 April 2018   16:05 2258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan, mungkin sebentar lagi akan turun.

Aku masih terdiam. Di sini, di atas mejaku. Ditemani segelas kopi hitam hangat. Lagi membuncahkan alam pikiranku. Sesekali, asap rokok kukepulkan ke langit-langit. Kuhisap dan kuhembuskan lagi...

Hujan yang kunanti, belum lagi turun.

Tapi ada segumpal pikiran yang membuat aku harus bertanya. Dalam hati. Tentang orang-orang yang berekspresi. Tentang sastra, yang katanya karya yang indah lagi memesona...

Apakah sastra itu? Lalu, berapa harga sastra itu di benakmu, di alam pikiranmu? Sastra itu diberi oleh Sang Khalik atau kamu yang menjadikannya? Hingga katamu, sastra itu ada...

Lalu hari ini, siapa lagi yang harus memberi tafsir tentang sastra? Tentang hujan yang turun malah dihujat, bukan disyukuri...

Sastra kini, memang sudah diinjak-injak. Sastra yang diputar kesana kemari. Oleh otak-otak dan pikiran-pikiran liar. Sastra yang tidak lagi disentuh oleh hati. Tapi sastra yang dijadikan "korban" kebrutalan otak manusia. Lalu sesudahnya, mereka mengibarkan bendera seperti sastrawan?

Sungguh, sastra kini sudah menembus ruang kamuflase. Aku pun menyebutnya "sastra matic"; sastra yang lahir dari proses abal-abal. Tanpa belajar tanpa apresiasi lalu mereka praktik. Sastra matic, sastra yang dinikmati oleh logika-logika para arca... Diam tak berpikir tapi merasa berdiri tegak.

Sastra matic, cara pandang tentang sastra yang rendah. Murahan lagi bertabur kesombongan. Sastra yang tidak lagi didekati dengan hati. Tapi sastra yang "dibesarkan" dengan cara-cara instan. Sastra tidak lagi dilihat sebagai moralitas, tidak lagi didaktis. Tapi mereka buru-buru membantah. Dan berteriak, sastra adalah rekreasi; ruang ekspresi yang estetis. Matamu sastra...

Sastra itu keluhuran. Sastra itu budi pekerti. Maka puncak kesastraaan adalah karya-karya yang ditorehkan dari keluhuran budi. Berbeda dengan sastra matic; mereka yang mengaku bersastra tanpa belajar, tanpa proses tanpa apresiasi. Lalu, berjalan di atas panggung sambil memekik keras "akulah sastrawan". Blegedess.

Mungkin karena hujan yang seringkali membasahimu. Hujan yang akan berhenti sendiri tanpa kamu doakan. Sastrawan itu ketika mereka berproses, mendalami sastra dengan keluhuran budi. Berkecimpung dalam sastra adalah pilihan hati nurani. Bukan penampilan yang "dipaksa" atas nama estetika, atas nama kuliah, atas nama pementasan. Atau atas nama otak liarmu. Sastrawi itu ada, ketika si makhluk yang bersastra mau meresapi dan merenungi setiap torehan kata. Sastra yang dilahirkan dari rahim; atas nama cinta, atas nama moral bukan nafsu. Bersastra itu memilih, bukan dipilih apalagi sembarang pilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun