Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru, Masihkah Ditiru?

27 November 2017   22:07 Diperbarui: 27 November 2017   23:24 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru, masihkah ditiru?

Tiap tanggal 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru. Sementara angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2016, Indonesia meraih angka 0,689, berada di peringkat 113 dari 188 negara. Maka tidak salah, kita mempersoalkan kualitas guru? Guru, masihkah digugu dan ditiru?

 Agak sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Apalagi jika diukur dari kualitas anak didik. Maraknya kekerasan di sekolah, pelecehan seksual, hingga lingkungan sekolah yang belum ramah anak dan berbagai problematika yang dihadapi dunia pendidikan semakin tidak dapat dipisahkan dari peran guru. Guru dapat digugu apabila layak menjadi sosok yang dapat percaya. Guru pantas ditiru apabila mampu menjadi sosok yang dapat diteladani siswanya.

Ada banyak indikator untuk menempatkan guru sebagai sosok yang layak digugu dan ditiru. Tergantung cara pandang kita tentang guru. Namun, setidaknya ada dua indikator untuk mengukur kualitas guru, yaitu kompetensi dan sikap. Seharusnya, guru dapat digugu karena kompetensinya. Guru dapat ditiru karena sikapnya. Guru tidak hanya menjalankan tugas mengajar di depan kelas. Guru dituntut untuk mampu mengembangkan kemampuan dan kecerdasan siswa secara komprehensif, baik intelektual, emosional, dan spiritual. Bahkan guru kini, dianggap menjadi sosok sentral dalam membentuk karakter siswa.

Pada kenyataan ini, siapapun yang menjalankan profesi sebagai guru harus memiliki kepekaan terhadap berbagai realitas dan dinamika kehidupan. Guru tidak hanya dituntut agar mampu melakukan transformasi ilmu dan pengetahuan kepada siswa semata. Tapi guru juga harus memiliki tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Merencanakan pelajaran dengan baik, mengajar secara optimal, dan mampu mengevaluasi hasil belajar secara objektif menjadi agenda penting profesi guru. Harus diingat, kualitas guru tidak dinilai dari gelar sarjana yang dimilikinya atau bahkan kelulusan program sertifikasi yang diperolehnya. Kualitas guru pada dasarnya tercermin melalui kualitas siswa atau anak didik yang dihasilkannya.

Guru semakin memiliki peran sentral karena dianggap sebagai ujung tombak pencapaian tujuan pendidikan. Pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah 1) mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, 2) mengembangkan kesehatan dan akhlak mulia dari peserta didik, dan 3) membentuk peserta didik yang terampil, kreatif, dan mandiri.

Tujuan ini menjadi isyarat bahwa guru merupakan garda terdepan yang menentukan kualitas pendidikan nasional, tentu dengan segala masalah dan realitas yang dihadapinya. Dalam orientasi belajar, guru harus mampu mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas, yang tidak hanya terbatas pada kemampuan kognitif siswa tetapi juga afektif dan psikomotor. Intinya, guru harus lebih kreatif dalam mengajar.

Kompetensi Guru

       Indikator guru layak digugu adalah kompetensi yang dimiliki. Guru yang kompeten harus memahami problematika belajar. Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada disiplin ilmu tertentu. Belajar adalah proses agar siswa dapat menemukan potensi dan jati dirinya terhadap disiplin ilmu. Dengan belajar, siswa seharusnya mendapat ruang yang lebih besar untuk menambah "pengalaman". Siswa lebih membutuhkan 'pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan".

       Dalam konteks inilah, guru harus memiliki kompetensi yang cukup dalam proses pembelajaran. Proses belajar-mengajar dengan sistem top-down yang masih dipraktikkkan guru di kelas harus dihilangan. Anggapan siswa tidak memiliki pengetahuan dan guru berkuasa membentuk siswa sesuai keinginannya sangat tidak tepat. Guru ibarat "teko" dan siswa ibarat "gelas" sama sekali tidak benar. Karena sistem top-down yang masih diterapkan di sekolah akan menghasilkan manusia yang hanya dapat memenuhi kebutuhan zaman. Sedangkan untuk menciptakan generasi yang kritis dan kreatif menjadi terabaikan.

       Guru yang kompeten adalah guru yang dapat mengubah kurikulum pembelajaran menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan siswa harus dibuat bergairah. Kurikulum tidak semestinya mengungkung kreativitas guru dalam mengajar. Kurikulum, yang katanya sudah memadai harus benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik kegiatan belajar-mengajar yang optimal, tidak hanya menjadi simbol dalam memenuhi target pembelajaran.

       Kesan pembelajaran di sekolah saat ini hanya mengarah pada penguasaan materi pelajaran harus dapat diubah menjadi kompetensi siswa. Guru sebaiknya menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Cara mengajar guru yang sekadar duduk di depan kelas atau bertumpu pada ceramah menjadi bukti kurangnya kompetensi guru. Penciptaan suasana belajar yang dinamis, produktif, dan profesional harus menjadi spirit bagi para guru. Dengan demikian, guru memang pantas menjadi sosok yang dapat membentuk kepribadian siswa yang kokoh, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual. Pentingnya kompetensi guru ini juga ditegaskan dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan "guru harus memiliki kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian.". Sekali lagi, guru layak 'digugu" apabila memiliki kompetensi yang dapat dipercaya.

Sikap Guru

       Sikap adalah indikator guru agar pantas ditiru. Sekalipun sibuk mengurus sertifikasi atau kesejahteraan, guru harus memiliki sikap bangga dan patriotrik terhadap profesi yang dipilihnya. Masih banyak guru yang bersikap kurang positif terhadap mata pelajaran yang diajarnya. Bangga mengajar mata pelajaran yang menjadi spesialisasinya adalah sikap guru yang utama. Sikap bangga inilah yang akan menjadikan guru lebih bergairah dalam mengajar. Siswa pun akan lebih tertarik dalam belajar. Maka sikap dalam mengajar adalah keteladanan siswa terhadap mata pelajaran yang diikutinya.

       Proses pembelajaran di kelas yang monoton dan membosankan, harus diakui lebih banyak disebabkan oleh lemahnya sikap guru dalam mengajar. Siswa yang malas mengikuti pelajaran tertentu lebih banyak dipengaruhi oleh sikap guru yang acuh terhadap mata pelajarannya sendiri. Kondisi ini menjadikan siswa tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran di kelas. Konsekuensinya, siswa tidak memiliki kesadaran dan pemahaman akan pentingnya mata pelajaran yang diajar guru tersebut.

       Berawal dari sikap ini pula, pada gilirannya guru enggan mengikuti "peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB)". Upaya pengembangan diri guru yang tidak optimal jelas menjadi penghalang guru untuk menjadi guru profesional. Rendahnya minat dan kemampuan publikasi ilmiah adalah masalah serius. Maka, karya inovatif yang dihasilkan guru pun tidak memadai. Semua itu bersumber pada sikap guru yang terbilang 'malas" meningkatkan keprofesian berkelanjutan.

       Upaya membenahi sikap guru dalam mengajar menjadi sangat penting. Sikap guru merupakan cerminan kualitas dan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, beberapa indikator penting bagi guru untuk membenahi sikap dalam mengajar antara lain: 1) memiliki orientasi pembelajaran yang bersifat praktis, bukan teoretik, 2) menjadkan belajar sebagai sarana siswa memperoleh pengalaman, 3) berorientasi pada kompetensi siswa, 4) mampu menyederhanakan materi pelajaran, dan 5) memiliki metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Jika demikian, guru pantas 'ditiru" apabila memiliki sikap dalam pembelajaran yang dapat diteladani.

         Sebagai penutup, guru yang layak digugu dan ditiru pada dasarnya pasti dapat direalisasikan. Sejauh dilandasi kompetensi dan sikap guru yang positif dalam mengajar. Maka guru, memang pantas digugu dan ditiru siswanya. Oleh karena itu, guru harus melibatkan hati dalam mengajar, tidak cukup hanya pikiran. Kompetensi dan sikap guru adalah agenda penting profesi guru saat ini dan di masa mendatang. Caranya, guru harus lebih membuka diri untuk terus belajar, kreatif dalam mengajar, dan menyetarakan pengetahuan dan cara mengajar. 

Guru, masihkah ditiru..?? Selamat Hari Guru Nasional ! #HariGuru

Guru, Masihkah Ditiru?
Guru, Masihkah Ditiru?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun