Riuh-gemuruh, silang pendapat di UNJ harusnya sih sudah berakhir. Apalagi Kemenristek Dikti telah mengambil putusan untuk memberhentikan Rektor UNJ dan digantikan Plt. dari Ristek Dikti. Cukup sudah, semua sudah berakhir.
Tentu, kita gak mau fokus pada pertanyaan "kenapa diberhentikan?" karena sudah gak relevan. Jauh lebih penting sekarang dan ke depan adalah "apa yang akan dilakukan UNJ?"...
Patut menjadi hikmah.
Kisruh UNJ sejatinya "hanya" persoalan internal di Kampus UNJ sendiri. Jadi, belajarlah untuk "menyelesaikan masalah sendiri", gak usah libatkan orang lain atau pihak ketiga. Ibarat masalah rumah tangga, gak akan ada yang beres kalo melibatkan "orang luar". Bakal runtuh, bakal merebah lalu tiarap.
Masalah internal kampus. Selesaikan dengan akal sehat, saling berdialog hingga mendapat titik temu. Jika belum sepakat, rehatlah sejenak agar sedikit adem. Bukan malah bersiasat untuk "saling menjatuhkan, saling melaporkan". Gak apik, gak akademis. Duduk barenglah, sambil ngopi-ngopi. Ngobrol dengan bahasa yang santun. Insya Allah, gak ada soal yang gak bisa diselesaikan.
Sederhana saja. Segenap civitas akademika UNJ harus menyadari, sadar dan segeralah siuman untuk kembali ke marwah-nya sebagai lembaga pendidikan tinggi. Kita punya Tri Dharma Perguruan Tinggi. Berhentilah di situ, berdiskusilah dan buktikanlah, itu sudah jauh dari cukup.
UNJ itu kampus. Bukan rumah tangga, bukan juga partai politik. UNJ harus "menghidupkan" tradisi akademis, tidak segampang pikiran rumah tangga; tapi gak seribet partai politik juga yang banyak kepentingannya. UNJ itu kampus...
Sebagai kampus, UNJ cukup fokus pada dua hal saja:
1. Hidupkan TRADISI AKADEMIS.
Sebuah tradisi yang gak dimiliki komunitas lain, yaitu dekat pada tradisi akademis; yang mampu memberi ruang untuk berdiskusi dan berdialog secara ilmiah bukan emosional, lebih cenderung ke prestasi daripada sensasi.
2. Akomodasikan KONFLIK Internal.
Terus terang, gak ada tempat di manapun yang gak punya masalah. Tinggal masalah, mampu atau tidak kita mengakomodasi setiap konflik yang terjadi. Kemarin-kemarin, saya lihat UNJ gagal mengakomodasikan konflik yang ada di internal mereka. Mungkin, karena terbuai oleh AROGANSI INTELEKTUAL, kesombongan akademis. Saling ego, saling gak mau mengalah.
Terus terang aja. UNJ itu gak ada masalah aja, sudah punya masalah. Soal kualitas belajar, soal prestasi yang diharapkan, soal riset yang harus dikedepankan, soal citra kampus, soal lingkungan kampus. Dan yang paling penting "creating good news" sehebat-hebatnya....
Ke depan, UNJ harus bangun tradisi akademis dan mampu akomodasi konflik internal. Itu saja sudah cukup...
Sekali lagi, UNJ itu kampus, bukan rumah tangga bukan partai politik. Harus ada "keteladanan dalam menyikapi masalah atau konflik". Jujur, saya sih gak sudi kalo "almamater tercinta" terus-terusan berjibaku dengan soal-soal yang gak produktif. Daya juang, energi dihabiskan untuk "sesuatu" yang malah mencoreng almamater. Hijrahlah dari KEMARIN yang kurang baik ke ESOK yang lebih baik, lebih mencerahkan....
Dan ketahuilah...
Apapun alasannya, KEBENARAN HARUS TETAP DI ATAS HARGA DIRI. #UNJKeren
Syarifudin Yunus - Alumni Bhs. Indonesia 89
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H