Di zaman nenek moyang. Ada pepatah begini "belum berkuku hendak mencubit"
Kira-kira artinya, "belum berkuasa tapi sudah mencari - cari kesalahan orang". Kalo mau disederhanakan, bisa juga dimaknakan "belum apa-apa saja sudah pengen melukai". Apalagi kalo sudah jadi apa-apa ya?
Begitulah kira-kira yang terjadi di dekat kita. Banyak orang lebih doyan saling menyalahkan, saling mencari salahnya.Â
Jadi koalisi gak senang, jadi oposisi ketemuan di MRT berisik. Gak bisa pulang ke tanah air katanya gak dibantu pemerintah, padahal dia sendiri yang pergi ke luar negeri. Belum jadi koalisi, udah minta porsi 55:45. Bertandang ke kantor partai, ujung-ujungnya pengen nyalon presiden 2024. Belum apa-apa, bawaannya "ruang gerak" orang maunya dibatasi. Tapi "ruang gerak" orang lain dikebiri. Hati-hati, sifat-sifat egosi dan mau menang sendiri kian membabi buta di zaman now.
Belum berkuku  hendak mencubit.
Atas nama nafsu kekuasaan, semua dianggap boleh. Boleh mengumbar aib, boleh menghakimi satu sama lain. Seolah mengkritisi tapi menebar hoaks. Katanya pengen hidup tenang dan harmoni. Ber-bhineka tunggal ika dan segalanya. Tapi sayang, kadang banyak orang gak mampu melepaskan diri dari pikiran keliru. Terlalu tekun dan rajin memperjuangkan pikiran yang gak sepenuhnya benar.
Emang udah zamannya kali ya. Banyak orang gemar "tidur bareng" dengan ketakutan, keraguan, kesalahan, kebencian hingga takhayul. Hidup dalam ilusi. Buat mereka, "kebaikan" itu HANYA objek nafsu dan selera semata. Wajar kalo akhirnya, mereka berjuang mati-matian untuk kepentingannya. Lalu, terhindar dari "kematian" eksistensi yang mengerikan.
MEMANG, HIDUP ITU DI ANTARA NALURI DAN AKAL. DI TENGAHNYA ADA NAFSU.
Ketika naluri dan akal bersinergi. Di situlah manusia gak  akan pernah istirahat dari kecemasan yang dia bangun sendiri. Menjadikan mereka selalu gak puas, dan ingin menang sendiri. Naluri dan akal kalo udah ngumpul, seremnya luar biasa. Mereka akan berbohong dan saling menipu satu sama lainnya. Berulang dan berulang terus.
NAFSU yang gak pernah berhenti untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan.
Maka wajar buat siapapun. Ketika nafsu berkuasa, maka tiap orang selalu melihat orang lain sebagai ancaman.
Hidupnya ada di era digital, era yang serba modern. Era yang membolehkan segalanya. Era di mana tanpa belajar semua orang bisa dan boleh "berceramah". Banyak omong tapi belum tentu dilakonin. Era "memberi pelajaran" tanpa perlu "mempelajarinya apalagi melakoninya".Â
Seperti kata pepatah lagi. "Gak pandai menari dikatakan lantai terjungkat" maka "gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak" hingga akhirnya "bagai balam dengan ketitiran". Bila diartiin, kira-kira begini. "Kita yang gak tau apa-apa, tapi yang disalahin selalu orang lain" maka "kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang besar gak tampak" Â hingga akhirnya"selalu berselisih hingga gak mampu lagi bersatu-padu."
Mungkin, sebagian orang beranggapan. Semakin mampu melampiaskan hawa nafsu maka ia makin bahagia. Atau bahkan, kekuasaan hanya menjadi kendaraan untuk mengcuilkan yang lainnya. Apalagi merasa punya pangkat, jabatan, dan harta. Orang-orang yang lupa. Bahwa bahagia itu ada bila mampu menguasai nafsunya. Tapi sebaliknya, siapapun akan sengsara bila dikuasai nafsunya.
Belum berkuku hendak mencubit. Itu hanya pepatah. Agar manusia tetap eling dan waspada. Karena pepatah itu nasehat, sebuah wejangan. Agar kita selalu berhati-hati dalam hidup.Â
Maka esok, gak usah cemas apalagi khawatir sedikitpun. Atas apa yang dipikirkan, dikatakan orang lain. Karena mereka sedang dalam keadaan tidak mengerjakan apapun. TETAPLAH LAKUKAN YANG TERBAIK, selagi masih bisa selagi masih ada waktu tersisa.
Karena sekarang, sama sekali gak cukup punya pikiran yang bagus kalo gak mampu menggunakannya dengan baik. Salam ciamikk #TGS #NafsuManusia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H