Saya pun tidak membantah walau tidak sepenuhnya membenarkan. Mengapa begitu? Karena menurut saya, ada yang hilang di UNJ hari ini. DIALOG DAN KEBEBASAN EKSPRESI TIDAK LAGI DIBANGUN DENGAN BAIK DI UNJ. TRADISI AKADEMIS MELEMAH DI UNJ. Dan sebabnya sederhana. UNJ BELUM SELESAI DENGAN DIRINYA SENDIRI. Akibat iklim birokrasi yang diciptakan sendiri dan akibat keadaan internal yang terus-terusan bermasalah atawa dipermasalahkan.
Wajar, saking rindunya terhadap diskusi dan dinamika bidang pendidikan dan keguruan. Beberapa teman aktivis dan alumni UNJ mendirikan Yayasan Rawamangun Mendidik (YRM) sebagai kendaraan untuk melanjutkan tradisi berpikir kritis di bidang pendidikan dan keguruan. Begitu pula IKA UNJ periode 2017-2020, begitu antusias untuk "membangun sinergi" lebih nyata agar almamater-nya lebih baik, lebih punya "good news" di mata masyarakat. Harusnya, UNJ patut bangga dan mau bekerjasama akan hal ini.
REFLEKSI KRITIS CIVITAS AKADEMIKA UNJ HARI INI.
UNJ butuh "jalan baru", patut membuat "halaman baru". Agar kampusnya bukan jalan di tempat, bukan sibuk dengan urusan internal kampus sendiri. UNJ hanya butuh gerakan moral yang lebih masif untuk LEBIH PEDULI MENJADI KAMPUS BERKUALITAS.
 Â
Re-orientasi spirit UNJ hari ini.
SEGERA TUNTASKAN MASALAH INTERNAL DENGAN BIJAK DAN JANGAN BERTENTANGAN DENGAN AKAL SEHAT ORANG KEBANYAKAN. BANGUN SINERGI, LALU FOKUS PADA TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI.
Dalam lirik lagu MARS IKIP JAKARTA, saat saya kuliah di IKIP Jakarta dulu, ada kata-kata:
Belajar sanggup, mendidik bisa, mengkritik boleh, aksi pun jadi ...
Dengan dilandasi kesadaran kritis, serta penuh tanggung jawab moral ...
Kita, civitas akademika UNJ, kini perlu membangun kesadaran kritis. Namun, tetap menjunjung tinggi tanggung jawab moral. Karena pasti, selalu ada solusi dari setiap masalah yang kita hadapi.
Saatnya civitas akademika UNJ "MEMBANGUN SINERGI"
Jangan lagi tercerai-berai atawa berceceran sendiri-sendiri. Karena "serigala itu hanya memangsa domba atau binatang yang keluar dari rombongannya".